Friday, November 13, 2009

Teaching Learning Strategies

Teacing-Learning Process

Dalam pengelolaan kelas ada beberapa variabel yang patut diperhatikan oleh guru agar KBK yang dilaksanakan menjadi efektif, Rosenshine dan Frust (1971) mengidentifikasikan pengajaran yang efektif kedalam lima variable proses guru yang memperlihatkan keajegan hubungan dengan pencapaian, yakni:
1.
kejelasan dalam penyajian

2. kegairahan mengajar

3. ragam kegiatan

4. perilaku siswa dalam melaksanakan tugas dan kecekatannya

5. kandungan bahan pelajaran yang dapat diliput siswa.

jadi jelaslah bahwa pengajaran yang efektif sangat berkaitan dengan pengelolaan kelas yang efektif pula. Sehingga guru yang efektif adalah pengelolaan yang efektif terhadap perilaku siswa dalam artian yang baik.

Guru dapat menggunakan beberapa pendekatan dalam KBM agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai, Ada dua dasar pendekatan dalam KBM, yaitu:

1. Pendekatan Teacher-Centered

Pendekatan Teacher-Centered ini digunakan apabila kurangnya motivasi belajar siswa yang dimiliki, untuk itu guru harus berperan aktif untuk kelancaran KBM yang dilaksanakan, ini juga bertujuan untuk menumbuhkan/meningkatkan motivasi belajar siswa yang rendah menjadi lebih tinggi.

Pendekatan teknik ini lebih banyak menekankan pada direct instruction, pengajaran dedukatif atau pengajaran expository. Metode pengajaran ini, guru mengontrol apa yang diajarkan dan bagaimana seharusnya siswa mempelajari pelajaran yang diberikan.

2. Pendekatan Student-Centered

Pendekatan Student-Centered ini digunakan apabila motivasi belajar siswa terlihat tinggi, guru berperan sebagai penyeimbang, pengamat, pengarah, serta sebagai pelurus apa saja yang sedang dibahas oleh kelas.

Teknik ini juga sering disebut sebagai discovery learning, inductive learning atau inquiry learning. Peran dalam pembelajaran lebih banyak berfokus pada siswa. Dalam pengajaran teknik ini, kita tetap membuat rancangan pembelajaran tetapi mengurangi kontrol (kontrol tidak melebihi apa dan bagaimana siswa belajar) terhadap siswa.

sedangkan strategi dalam KBM dapat ditentukan sesuai keadaan siswa, ruang kelas situasi dan kondisi yang ada pada saat KBK berlangsung.

1. Mengajar Bahasa

Guru merupakan faktor yang penting dalam proses pemudahan belajar ini. Oleh karena itu, akhir‑akhir ini guru itu disebut "pemudah" atau "fasilitator" (dari bahasa Inggris facilitator). Dalam usaha pemudahan ini guru memerlukan cara‑cara (metode) tertentu. Guru yang baik, pada umumnya, selalu berusaha untuk menggunakan metode mengajar yang paling efektif, dan memakai alat/media yang terbaik. Guru bahasa sama saja halnya. Rupanya, pencarian metode, yang paling efektif tetap saja dilakukan dari zaman ke zaman, karena apa yang dicari itu tampaknya "seperti angan-angan nun di awan". Mengapa tidak atau belum ada metode yang terbaik dalam pengajaran kedua/asing (BT)?.

Pengajaran bahasa melibatkan sekurang‑kurangnya tiga disiplin, yakni (a) linguistik, (b) psikologi dan (c) ilmu pendidikan. ilmu Linguistik memberi informasi kepada kita mengenai bahasa secara umum dan mengenai bahasa‑bahasa tertentu. Ilmu Psikologi menguraikan bagaimana orang belajar sesuatu, dan Ilmu Pendidikan atau Pedagogi memungkinkan kita untuk meramu semua keterangan dari (a) dan (b) menjadi satu cara atau metode yang sesuai untuk dipakai di kelas untuk memudahkan proses belajar‑mengajar bahasa oleh pelajar.

Sejalan dengan perkembangan ilmu linguistik dan ilmu psikologi ini, metode‑metode itu mencerminkan disiplin-­disiplin tersebut di atas, juga ikut berubah. Oleh karena itu, jawaban atas pertanyaan di atas sebagian besar terjawab sebagai berikut: "Masih kurang hal atau fakta yang kita ketahui dengan mantap tentang: Apa bahasa itu?" dan "Ba­gaimana bahasa itu dipelajari orang?", dan masih sedikit yang kita ketahui tentang metode yang paling baik untuk mengajar bahasa kedua/asing, sehingga kita masih tetap mencari‑cari jawaban yang tepat atas pertanyaan yang di­ajukan di atas.

Ada kemungkinan bahwa apa yang sekarang dianggap metode pengajaran bahasa kedua/asing yang paling baik ternyata tidak mernuaskan apabila diperoleh penemuan­penernuan yang datang dari bidang linguistik dan psiko­logi.

Kalau kita meninjau perubahan‑perubahan yang paling menonjol dalam linguistik dan psikologi hingga dewasa ini, yang berpengaruh besar pada pendidikan bahasa sejak per­mulaan abad ke‑20, ada tiga pendekatan pada ilmu linguis­tik yang patut dicatat, yakni (a) linguistik tradisional, (b) linguistik struktural, dan (c) linguistik transformasional‑ge­neratif. Perkembangan ketiga teori linguistik ini sejajar de­ngan perkembangan pendidikan bahasa dengan perkenalan khususnya: metode tata bahasa/terjemahan, metode audioli­ngual, dan metode berdasarkan teori pendekatan kognitif. Perubahan‑perubahan dalam teori‑teori psikologi juga mem­beri dampak pada pengajaran bahasa, umpamanya teori behaviorisme dan teori mentalisme.

2. Metode Pengajaran Bahasa Inggris

2.1. Grammar Transla­tion Method

Metode ini sering juga disebut "metode tradisional". Ini tidak berarti bahwa metode ini yang paling tua. Istilah "tradisional" mungkin dipakai dalam arti bahwa metode ini merupakan pencerminan yang paling tepat dari cara baha­sa‑bahasa Yunani kuno dan Latin diajarkan selama berabad-­abad (van Els, op.cit). Walaupun kedua bahasa ini tidak lagi begitu banyak digunakan di antara para ilmuwan sebagai bahasa pengantar (abad ke‑15), tetapi masih banyak seko­lah/universitas yang mengharuskan pelajar/mahasiswanya belajar bahasa‑bahasa ini karena dianggap mempunyai "ni­lai pendidikan yang tinggi" dalam membaca buku‑buku dalam bahasa‑bahasa klasik, dan juga karena "disiplin ba­tin" yang dilatih melalui analisis logis bahasanya, dan peng­hafalan kaidah‑kaidah bahasa dan pola‑pola kalimat yang rumit serta penerapan kaidah‑kaidah dan pola‑pola dalam latihan terjemahan.

Metode ini berdasarkan asumsi bahwa ada satu "logika semesta" (universal logic) yang merupakan dasar semua ba­hasa di dunia ini, dan bahwa tata. bahasa adalah cabang dari logika. Kategori‑kategori tata bahasa bahasa‑bahasa Indo‑European (yang diwakili oleh bahasa Latin) dianggap kategori‑kategori yang ideal. Banyak ilmuwan dalam abad ke‑19 menganggap bahwa bahasa‑bahasa Eropa modern adalah pencampuran yang kurang baik dari tata bahasa klasik (tradisional) yakni bahasa Latin, dan bahwa bahasa­bahasa lain di dunia ini (bahasa‑bahasa di luar Eropa) sebagai bahasa‑bahasa yang masih "primitif dan belum ber­kembang".

Langkah‑langkah penyajian ialah sebagai berikut:

(1) Guru mulai dengan mernberikan definisi‑definisi jenis kata, imbuhan jenis kata itu, kaidah‑kaidah yang harus dihafalkan dalam BS (Bahasa Sumber), contoh‑contoh yang menggaris­bawahi kaidah‑kaidah BT (Bahasa Target), dan perkecualian‑perkecuali­an kaidah‑kaidah BT yang diajarkan itu.

(2) Guru melatih pelajar dalam terjemahan kalimat‑kalimat dan kemudian paragraf-paragraf. Materi yang digunakan dipilih dari buku‑buku sastra yang bahasanya me­miliki ragam yang "estetis". Para pelajar diharapkan untuk mengenal kaidah‑kaidah tata bahasa yang telah dihafalkan, dan menerapkannya pada terjemahannya. Ini melibatkan suatu pernikiran yang rumit mengenai pengimbuhan jenis‑jenis kata yang telah dihafalkan, agar sesuai dengan terjernahan yang diminta oleh guru.

(3) Guru memberi daftar kosakata untuk dihafalkan. Kata­kata itu lepas dari konteks kalimat, dan guru menyuruh para pelajar untuk memberi terjernahan kosakata BT itu.

(4) Guru memberi pekerjaan rumah yang berupa persiapan terjernahan halaman‑halaman dari buku sastra itu un­tuk dibicarakan pada perternuan berikutnya.

2.2 Metode Langsung (Direct Method)

Menjelang perten;ahan abad ke‑19 ada beberapa faktor yang menyebabkan penolakan atau ketidakpuasan dengan metode tata bahasa/terjemahan. kuat terhadap metode tata bahasalterjemahan, tetapi sebenar­nya orang telah menggunakan metode langsung ini dalam pengajaran BY sejak zaman Romawi (kira‑kira abad ke‑15), ketika para pemuda Romawi diberi pelajaran dari guru-­guru Yunani untuk belajar bahasa Yunani.

Asumsi metode langsung ialah bahwa proses belajar BT sama dengan belajar BS; yakni penggunaan bahasa secara langsung dan intensif dalam komunikasi. Sama dengan se­orang anak belajar BS‑nya, demikian pula pelajar BT belajar dengan cara menyimak dan berbicara, sedang membaca dan mengarang dapat dikembangkan kemudian. Oleh kare­na itu, pelajar BT harus dibiasakan berpikir dalam BT, dan untuk mencapai ini penggunaan BS harus dielakkan sama sekali. Kita mengetahui bahwa asumsi ini tidak benar secara seratus persen, sebab psikologi belajar bahasa pertama tidak sama dengan belajar bahasa kedua/asing. Dalam pemero­lehan bahasa pertama, seorang anak tidak ada pilihan lain, dan dia merasa ada kebutuhan untuk berkomunikasi lisan dengan orang lain di sekelilingnya. Kebutuhan ini dipenuhi dengan menguasai bahasa pertama selekas mungkin. Dalarn pemerolehan bahasa kedua/asing, seorang pelajar tidak me­rasa adanya kebutuhan yang mendesak, dan dia mengeta­hui bahwa masih ada pilihan yakni penggunaan bahasa pertarna. Kecuali itu, menurut pendapat John Locke, yang dilaporkan oleh Bigge (1971), teori tabula rasa mengatakan bahwa tidak ada apa‑apa pada waktu seorang anak lahir. Seorang anak itu "kosong jiwanya/otaknya", dan ide‑ide yang dipunyai anak itu. datang kepadanya melalui panca­inderanya. Dalam hubungan dengan pernerolehan bahasa, ini diartikan bahwa anak yang sudah menguasai bahasa pertama sudah tidak "kosong" lagi jiwa atau otaknya, dan karena itu pemerolehan bahasa kedua/asing tidak akan dikuasainya semudah bahasa pertamanya.

Tujuan utama metode langsung ialah penguasaan BT secara lisan agar pelajar mampu berkomunikasi dalam BT. Penggunaan ini seyogianya seperti penutur asli. Untuk mencapai tujuan ini, pelajar diberi latihan‑latihan untuk mengasosiasikan kata‑kata dan kalimat‑kalimat dengan arti­-artinya melalui demonstrasi, peragaan‑peragaan, gerakan­gerakan, serta mimik‑mimik. (Contoh:. This is a…,, I'm writing, He's smiling).

Langkah‑langkah penyajiannya pada umumnya (Celce Murcia dan Mc Intosh, 1979) ialah:

(1) Pelajaran mulai dengan dialog atau humor yang pen­dek dalam BT, dan gaya bahasa yang digunakan ialah gaya informal atau ragam informal.

(2) Materi mula‑mula disajikan secara lisan dengan gerakan-­gerakan, isyarat‑isyarat, dramatisasi‑dramatisasi, atau gambar‑gambar.

(3) Tanya‑jawab dalam BT berdasarkan dialog atau humor seperti tersebut dalam butir (1) di atas.

(4) Tata bahasa diajarkan secara induktif; yakni dengan memberikan contoh‑contoh yang merangsang pelajar untuk mengambil kesimpulan‑kesimpulan sendiri.

(5) Kata‑kata digunakan dalam percakapan‑percakapan, dan pengimbuuhan‑pengimbuhannya diberikan kemudi­an padaa perternuan yang lain.

(6) Para pelajar yang sudah maju diberi bacaan sastra un­tuk pemahaman dan kenikmatan, tetapi bacaan sastra tidak dianalisis secara struktural atau secara sistematis.

(7) Budaya yang relevan pada aspek BT diajarkan secara induktif juga.

2.3. Pendekatan Lisan dan Pengajaran Bahasa Menurut Situasi (Situational Language Teaching)

Asal mula pendekatan lisan yang menghasilkan metode pengajaran bahasa (menurut) situasi ini ialah hasil peneliti­an terpisah‑pisah ahli linguistik di negeri Inggris dalam tahun 1930‑an. Pada waktu itu, sekelompok ahli‑ahli li­nguistik mengembangkan dasar prinsip‑prinsip suatu pen­dekatan metodologi pengajaran bahasa. Prinsip dasar dari model ini adalah pengembangan kosa kata.

Sejajar dengan pengembangan seleksi kosakata, para ahli mencurahkan perhatian mereka ke­pada materi tata bahasa untuk program pengajaran bahasa yang menggarisbawahi bahasa lisan. Oleh karena itu, mere­ka membuat daftar dari struktur‑struktur tata bahasa yang paling utama dalam pola‑pola kalimat. Pola‑pola ini kemu­than dilatihkan dalam bentuk tabel penggantian unsur‑un­sur dalam pola‑pola tertentu (substitution tables).

Contoh pengembangan model ini adalah L.G. Alexander dari Inggris banyak me­nulis buku teks bahasa Inggris yang ditujukan kepada pelajar BT (yang bukan penutur asli). Buku‑buku Alexander ju­ga mencerminkan prinsip‑prinsip Situational Language Teach­ing yang dibicarakan di atas. Sebagai contoh kita ambil New Concept English yang terdiri atas 4 buku dan yang diterbit­kan pada tahun 1967. Salah satu ciri tambahan yang dipu­nyai New Concept English ini ialah banyak penggunaan hu­mor untuk mengurangi ‑ ketegangan para pelajar BT dan untuk membuat materi itu lebih menarik.

2.4. Pendekatan PendengaranlPembicaraan dan Metode Audiolingual (Aural‑oral Approach/Audiolingual Me­thod)

Prinsip‑prinsip berikut Ini diterapkan sesuai dengan pen­dekatan pendengaran dan berbicara dari Arnerika Serikat, yakni:

(1) Pelajar harus menyimak, kernudian berbicara, lalu mernbaca dan akhirnya mengarang. Ini urutan penyaji­an yang dianggap benar.

(2) Tata bahasa harus disajikan dalarn bentuk pola‑pola kalimat atau dialog‑dialog dengan topik‑topik situasi sehari‑hari.

(3) Drill harus mengikuti urutan operant‑conditioning seperti diterangkan di atas. "Hadiah" harus diberikan.

(4) Sernua unsur‑unsur tata bahasa harus disajikan dari yang mudah ke yang sukar atau bertahap (graded exer­cises).

(5) Kemungkinan‑kemungkinan untuk mernbuat kesalahan dalam memberi respons harus dihindarkan, sebab pe­nguatan positif dianggap lebih efektif dari pada penguatan negatif. Prinsip ini disebut "penghindaran ke­salahan" (error prevention). Dalarn metode ini kesalahan pelajar dianggap ketidakmampuan guru bahasa untuk mengajar dengan baik.

Langkah‑langkah penyajian materi menurut metode audiolingual ini ialah, secara urnurn, sebagai berikut:

1) Penyajian dialog/bacaan pendek yang dibacakan guru berulang kali. Pelajar menyimak dan tidak melihat pa­da teksnya.

(2) Peniruan dan penghafalan dialog/bacaan pendek de­ngan teknik meniru setiap kalimat secara serentak dan menghafalkan kalimat‑kalimat itu. Teknik ini disebut peniruan‑penghafalan (mimicry‑memorization technique atau mim‑mem‑technique).

(3) Penyajian pola‑pola kalimat yang terdapat dalarn dialog/bacaan yang dianggap guru sukar karena terdapat struktur atau ungkapan yang sukar. Ini dilatih dengan teknik drill. Dengan teknik ini dilatih struktur dan kesakata.

(4) Drarnatisasi dari dialog/bacaan yang sudah dilatih di atas. Pelajar yang sudah hafal disuruh memperagakan di muka kelas.

(5) Pernbentukan kalimat‑kalimat lain yang sesuai pola‑pola kalimat yang sudah diberikan.

2.5. Metode Guru Diam (The Silent Way)

Metode guru diam (the silent way) dicetuskan oleh Calch Cattegno (1972), seorang ahli pengajaran bahasa yang me­nerapkan prinsip‑prinsip kognitivisme dan ilmu filsafat da­lam pengajarannya. Perlu ditekankan di sini bahwa Gat­tegno mengembangkan teori dan metode pelajarannya ter­pisah dari teori Chomsky, meskipun ada banyak persamaan dalam teorinya. Prinsip‑prinsip filsafat yang merupakan ide‑ide dasar metode ini, adalah antara lain ; Diri seseorang (the self) sama dengan tenaga yang be­kerja dalam tubuhnya melalui pancaindera, dan ber­tujuan untuk mengatur masukan‑masukan dari luar itu. Diri itu membuang yang dianggap tidak berguna dan menyimpan yang dianggap menjadi bagian dari diri itu. Diri ini, sebagai suatu tenaga, bukanlah sama dengan "kerja", melainkan sama dengan "kemampuan untuk bekela".

2.6. Belajar Bahasa Secara Berkelompok (Community Language Learning atau C.L.L.)

Metode ini diperkenalkan oleh Charles A. Curran dan rekan‑rekannya (1976). Curran sendiri bukan seorang guru bahasa, melainkan seorang ahli psikologi yang mengambil spesialisasi dalam penyuluhan (counseling). Penerapan teknik‑teknik pe­nyuluhan pada pelajaran pada. umumnya dikenal dengan nama pelajaran penyuluhan (counseling learning). Curran me­ngarang suatu metode khusus untuk mengajar bahasa yang diberi nama "belajar bahasa secara berkelompok" atau BBSB untuk singkatnya (community language learning).

Metode ini sering disebut orang sebagai contoh dari pendekatan humanistis pada pengajaran bahasa (humanistic ap­proach to language teaching). Menurut Moskowitz, yang di­kutip Richards dan Rodgers (op. cit) istilah "humanistis" di sini berarti "percampuran dari sernua emosi dan perasaan-­perasaan lain dari pelajar dalam proses belajar‑mengajar BT, yang meliputi, antara lain, harga diri dan perasaan bangga akan pencapaian cita‑cita dengan usaha sendiri dan~)encip­taan suasana kerja sama yang erat di dalam Was. ,

Teori yang mendasari BBSB ini ialah pernikiran bahwa apa yang sebenarnya dipelajari oleh manusia pada umumnya itu bersifat kognitif dan afektif. Pelajaran disajikan sedemikian rupa sehingga tercipta suatu suasana yang memungkinkan pelajar (bahasa) berkomunikasi atau berinteraksi dengan se­sama pelajar secara bebas. Dengan demikian, pelajar (bahasa) mengalami sernua masukan dari luar secara menyeluruh, yakni melalui pikiran (kemampuan kognitio) dan perasaannya (kemampuan afektio).

Tujuan BBSB ialah untuk memperlengkapi pelajar BT dengan kernampuan untuk:

(1) menguasai BT yang mendekati penguasaan penutur asli,

(2) mengembangkan perasaan kerja‑sama atau gotong‑ro­ yong,dan

(3) memupuk perasaan harga diri yang tinggi dalam hati pelajar.

2.7. Suggestopedia

Metode ini agak sukar untuk diterjemahkan dengan hanya menggunakan satu atau dua kata, tetapi harus diuraikan dengan menggunakan beberapa paragraf. Dengan mengikuti keterangan‑keterangan di bawah ini dengan cermat, pembaca diharapkan untuk memahami konsep suggestopedia seperlunya.

Suggestopedia adalah suatu metode yang dikembangkan oleh seorang ahli psikiatri dan pendidikan dari Bulgaria bemama Georgi Lozanov. Seperti diuraikan oleh Lozanov sendiri, dalarn artikelnya yang berjudul Suggestology and Suggestopedy yang dimuat dalam Blair (1982: 146‑159), dan yang diambil intinya dalam buku ini, suggestopedia berdasarkan tiga asumsi, yakni bahwa:

(a) belajar itu melibatkan fungsi‑fungsi sadar dan di bawah sadar manusia,

(b) pelajar mampu belajar lebih cepat daripada dengan metode‑metode lainnya,

(c) proses belajar‑mengajar dapat terhambat oleh beberapa faktor, yakni;

1) norma‑norma umum dan kendala‑kendala yang lazim berlaku dalam masyarakat, 2) suasana yang kurang serasi dan santai tidak ada atau kurang dalam pengajaran bahasa, dan .3) kekuatan‑kekuatan atau potensi‑potensi dalam diri pelajar yang tidak/kurang dimanfaatkan guru.

2.8. Pendekatan Komunikatif (The Com­ municative Approach)

Latar belakang pendekatan komunikatif ini ialah perubah­an‑perubahan yang terjadi dalam pengajaran bahasa di ne­geri Inggris sejak kira‑kira tahun 1960‑an. Pada waktu itu di negeri Inggris situation­al language teaching merupakan metode yang paling utama dalam pengajaran BT, khususnya bahasa Inggris. Para ahli linguistik terapan (ilmu. linguistik yang diterapkan pada pengajaran bahasa) di negeri Inggris mulai mempersoalkan kebenaran asumsi‑asumsi situational language teaching ini. Hal ini disebabkan sebagian besar oleh kecaman terhadap dikotomi competence dan performance seperti diutarakan da­lam pendekatan kognitif .

Di samping itu para ahli di negeri Inggris itu merasa kebutuhan yang mendesak untuk memusatkan perhatian mereka pada "kemampuan komunikatiF (communicative competence) para pelajar BT, dan tidak saja memperhatikan "penguasaan struktur BT" seperti halnya dengan metode­metode sebelurn tahun 1960‑an itu.

Istilah dan konsep "kemampuan komunikatif" itu berasal dari Dell Hymes (1972a) yang menulis suatu artikel yang dimuat oleh, antaia‑lain‑, Pride dan Holmes (Sociolinguistics, 1972). judul artikel itu ialah On Communicative Competence, yang isinya, antara lain, terdiri dari definisi "kemampuan komunikatif'yang menurut Dell Hymes, yakni "penguasaan secara naluri yang dipunyai seorang penutur asli untuk menggunakan dan memahami bahasa secara wajar (appro­priately) dalam proses berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain, dan dalarn hubungannya dengan konteks sosial" (Stern 1983: 229).

Dalam artikel itu Dell Hymes mengutarakan istilah "ke­mampuan komunikatif" yang berkiblat pada situasi sosial/ budaya, gedangkan Chornsky menggunakan istilah "kemam­puan" (competence) sebagai “kemampuan linguistik” (linguis­tic competence) yang berkiblat pada "pengolahan dalam pi­kiran penutur sernua kaidah‑kaidah ketatabahasaan tanpa melibatkan kaidah‑kaidah sosial/budaya. dalam penggunaan bahasa" (Stem, ibid). Dalam konsep "kemampuan komuni­katif' Dell Hymes, termasuk secara implisit kemampuan linguistik Chomsky, fokus utamanya ialah pada "pemaham­an secara naluri aturan‑aturan sosial/budaya dan makna­makna'yang terdapat dalam setiap ujaran/ kalimat".

2.9. Pendekatan Pemahaman (The Comprehension Ap­ proach)

Kemajuan‑kemajuan dalam linguistik teoretis, penelitian‑penelitian dalam pernerolehan bahasa anak, dan Yang paling penting, eksperimen‑eksperimen dalam pengajaran BT, Yang menekankan "makna/arti" dan bukan "penguasaan struktur­-struktur BT semata‑mata", memberi petunjuk Yang kuat mengenai peran “pemahaman”(comprehension) dalam peme­rolehan bahasa.

Seperti kita ketahui, pandangan‑pandangan tentang teori­teori linguistik dan psikologi tidak selalu tetap, dan per­ubahan pandangan dalam kedua disiplin ilmu itu memberi dampak, pada metodologi pengajaran bahasa. Dengan per­ubahan pandangan tata bahasa struktural ke pandangan tata bahasa T‑G, dalam tahun 1%0‑an, umpamanya, sudah terasa dampaknya pada perubahan metode‑metode peng­ajaran bahasa Yang lebih menekankan "kemampuan kog­nitif' daripada "kemampuan struktural". Di samping itu, Noam Chomsky, dalam bukunya Aspects of the Theorry of Syntax (1965), antara lain, mengatakan bahwa sernua orang memiliki "pengetahuan tentang bahasa Yang sudah dipu­nyai di bawah sadar" (atau tacit knowledge) sebagai hasil dari LAD Yang memungkinkannya. untuk dapat mengatakan bahwa suatu kalimat itu tidak gramatikal, meskipun ia tidak mampu menerangkan mengapa hal itu demikian. Ini mempunyai implikasi bahwa seorang penutur asli tidak perlu memiliki pengetahuan yang eksplisit mengenai kai­dah‑kaidah bahasa yang mereka gunakan dalam memben­tuk kalimat‑kalimat yang baik dan benar. Ia menggunakan tacit knowledge tersebut tadi untuk mengetahui, dan kalau du1u, menyarankan agar kalimat yang salah itu menjadi kalimat yang dapat diterima oleh penutur asli secara umum.

Sehubungan dengan keterangan di atas, Winitz (1981) melontarkan suatu pertanyaan sebagai berikut: "Kalau apa yang dikatakan mengenai 'pengetahuan yang sudah dipu­nyai di bawah sadar' itu benar, mengapa para pelajar BT diharuskan menghafalkan kaidah‑kaidah bahasa?" Dengan lain perkataan, Winitz ingin menyakinkan kita bahwa peng­hafalan kaidah‑kaidah tata bahasa tidak menjamin keterampilan dalarn ber‑BT sebagai hasil pengajaran BT. Winitz mengakui bahwa mengajar kaidah‑kaidah tata bahasa se­cara eksplisit (seperti dalam metode tata bahasa/terjemah­an) masih menjadi kebiasaan para guru BT. Akan tetapi, Winitz mengatakan bahwa kaidah‑kaidah yang diajarkan Itu biasanya kaidah‑kaidah yang menyentuh tingkat lahir saja, yang sering kurang mernuaskan pelajar, dan apabila diikuti secara harfiah, sering memberi hasil yang tidak benar karena tidak dapat diterima oleh penutur asli. Seba­gai contoh kita ambil kaidah kalimat dalam bahasa Inggris yang sangat mudah, yakni bahwa orang ketiga tunggal, waktu sekarang (present time) harus diikuti oleh kata kerja + huruf s atau es.

2.10. Pendekatan Alamiah (The Natural Approach)

Pendekatan alamiah yang disebut oleh Krashen (1981), dan Krashen dan Terrell (1983), mengingatkan kita pada pemi­kiran‑pemikiran yang mendasari metode langsung pada ta­hun 1960‑an. Tetapi, Krashen dan Terrell memberikan teori atau hipotesis yang lain dalam hal "pemerolehan bahasa".

Berbeda dengan pandangan audiolingualisme, yang menganggap bahasa pertama/rumah taneiza atau BS sebagai "penghambat proses belajar‑mengaiar BT" yang, disebut interferensi (interference), dalam teori monitor diambil sikap yang lebih positif terhadap pengaruh BS pada BT. Dalam teori monitor,,BS tidak dianggap sebagai penghambat atau interferensi BT. Penggunaan unsur‑unsur atau dri‑dri dari BS dalam BT dianggap justru sebagai "pengisian lubang­lubang atau kekurangan‑kekurangan" dalam kemampuan­dalam BT. jadi, pernbicara (pelajar BT) itu menggunakan unsur/ciri bahasa yang sudah dimilikinya (BS) bila dia belum memperoleh kemampuan itu dalarn BT. Dengan demikian, pengaruh BS dapat dianggap sebagai indikator tingkat pernerolehan, dan makin banyak pengaruh BS, ma­kin rendah tingkat pernerolehan BT. Pernikiran ini mendo­rong beberapa ahli pengajaran bahasa untuk menyarankan suatu "kurun waktu sunyi" (silent period), baik bagi pelajar muda maupun pelajar yang sudah dewasa, (Postovsky, 1977), walaupun "sunyi" ini berarti waktu mendengarkan saja.

Dalam pendekatan alamiah yang dibicarakan ini terma­suk lagi satu hipotesis yang penting diketahui, yakni hipo­tesis masukan (input hypothesis). Yang dimaksud dengan ini ialah bahwa sumber dari masukan untuk pelajar BT adalah ruang kelas di mana mereka memperoleh masukan yang dapat dipahami dan yang diperlukan untuk mencapai kemampuan dalam BT. Masukan merupakan suatu unsur yang terpenting dalam pendekatan alamiah ini. Demikianlah se­cara singkat teori‑teori pendekatan pernahaman dan pende­katan alamiah.

2.11. Metode Respons Psikomotorik Secara Menyeluruh (Total Physical Response atau TPR)

Metode ini dicetuskan oleh James J. Asher, seorang ahli psikologi di salah satu universitas di Amerika. Pernikiran yang mendasari metode ini, seperti dituturkan oleh Asher (dalam Oller dan Amato, op.cit. 329‑336), berpijak pada pengajaran bahasa melalui aktivitas psikomotorik.

Pencapaian keterampilan ber‑BT seorang pelajar dapat dibagi dalam tingkat‑tingkat (a) pencapaian awal, (b) per­tengahan‑pertengahan, dan (c) pencapaian lanjutan. Kalau dari awal para pelajar menerima pelajaran BT dengan meto­de seperti audiolingual yang menuntut pengungkapan ben­tuk‑bentuk tanpa kesalahan dan penghafalan aturan‑aturan secara sadar (secara eksplisit), maka para pelajar tidak akan mencapai tingkat (b) karena sudah merasa "jurang putus asa". Sebagai penyajian alternatif diusulkan oleh Asher un­tuk memberikan kepada para pelajar pada tingkat awal (a) pelajaran secara implisit" agar lambat‑laun secara bertahap para pelajar mencapai tingkat lanjutan tanpa ada perasaan frustrasi: Pada tingkat lanjutan ini mereka dapat menerima pelajaran secara eksplisit.

3. Models of Teaching

Latihan-latihan untuk kemampuan lisan agak sulit dikategorikan dengan baik. Yang perlu diperhatikan ialah bahwa aktivitas tersebut dapat berbentuk pasangan maupun harus disesuaikan. Bentuk-bentkuk latihan untuk latihan kemampuan lisan antara lain adalah sebagai berikut:

3.1. Formulas

Yang dimaksud dengan formulas di sini adalah latihan mempraktekkan frasa-frasa yang sudah tetap, (misalnya untuk pertemuan, perkenalan, pamitan, menerima tamu, baik dalarn bentuk formal maupun informal), melihat tingkat kemampuan siswa.

3.2. Games

Permainan dapat dipakai untuk bermacam-macarn keperluan, misalnya untuk menaikkan kosakata maupun latifian percakapan. Untuk latihan percakapan misalnya dapat dipakai 'Twenty Questions', 'Maze', 'Whispering Down the Lane' (Gossiping), 'Arranging', What's My Line', 'Charades', dsb.

3.3. Skit atau Playlets

Skit atau playlets ini adalah sandiwara pendek mengenai sesuatu topik yang menarik. Teks untuk ini biasanya disiapkan terlebih dahuiu. Topiknya misalnya 'Rent Due', 'Wlision', 'A Dinner Date', 'Mixed Marriage', dsb.

3.4. Role Playing

Dalam role-playing ini yang penting adalah improvisasi, jadi berbeda dengan skit atau drama. Jadi teks tidak disiapkan terlebih dahulu. Dengan sendirinya role-playing ini membutuhkan kernampuan yang sudah agak maju. Topik untuk ini misalnya: 'job interviews', 'court proceedings' mengenai ‘murder’ atau 'alibi'.

3.5. Strip Story

Dalam strip story ini sebuah teks; dipotortg-potong kalimat per kalimat. Kelas dibagi dalam 2 atau 3 kelompok, kemudian setiap orang dari kelompok mengambil satu kalimat untuk dihafalkan. Setelah itu guru mengambilnya kembali dan para siswa disuruh mengatakan kembali sesuai dengan susunan teks aslinya. Giliran menceriterakan kembali harus per kelompok. Versi masing-masing kelompok dapat berbeda dengan teks aslinya.

3.6. Drama

Dalam drama ini topik-topik yang menarik dapat dipakai, misalnya avarice vs. honesty, survival vs. self-respect, dsb': Meskipun prakteknya hal ini hanya menghafalkan, tetapi yang penting ialah untuk melatih stress, intonation, rhythm dan juga hal-hal Yang berhubungan dengan kinesics.

3.7. Group dynamics

Dalam group dynamics ini peserta diminta untuk mengeluarkan masalah-masalah pribadinya (tidak perlu harus masalah yang betul-betul pribadi). Kelompok kemudian berdiskusi untuk menolong anggota itu untuk melepaskan diri dari masalahnya tersebut.

3.8. Pemakaian Media

Media, misalnya gambar, komik, atau foto, dapat dipakai sebagai bahan untuk mengadakan conversation. Demikian juga siaran radio dari luar negeri, TV, atau video dapat dipakai sebagai bahan conversation.

3.9. Problem-Solving Activities

Dalam problem solving activities ini ada dua hal yang dapat dipakai, yaitu hal yang konkrit dan yang abstrak. Untuk hal ini yang konkrit misalnya, kita dapat membawa sepeda yang rusak dan bersama-sama diperbaiki dengan pertukaran pendapat bagaimana sebaiknya sepeda itu diperbaiki. Hal yang abstrak misalnya, sebuah guntingan artikel koran, kemudian siswa bersama-sama memecahkan permasalahan yang terkandung didalamnya.

3.10. Debates

Dalam debates ini dimasukan ‘panel discussion’, ‘formal meeting procedures’, ‘symposium’, dan ‘seminar’. Untuk ini memang diperlukan kemampuan yang cukup tinggi.

3.11. Speeches

Dalam Speeches dimasukan formal and informal speeches, misalnya untuk welcoming, ceremony, farewell party, introducting a speaker, dan sermons.

Language Teaching Method


GRAMMAR TRANSLATION METHOD

Principles

A fundamental purpose of learning a foreign language is to be able to read its literature. Literary language is superior to spoken language. Students' study of the foreign culture is limited to its literature and fine arts.

An important goal is for students to be able to translate each language into the other. If students can translate from one language into another, they are considered successful language learners.

The ability to communicate in the target language is not a goal of foreign language instruction.

The primary skills to be developed are reading and writing. Little attention is given to speaking and listening, and almost none to pronunciation.

The teacher is the authority in the he classroom. It is very important that students get the correct answer.

It is possible to find native language equivalents for all target language words.

Learning is facilitated through attention to similarities between the target language and the native language.

It is important for students to learn about the form of the target language.

Deductive application of an explicit grammar rule is a useful pedagogical technique.

Language learning provides good mental exercise.

Students should be conscious of the grammatical rules of the target language.

Wherever possible, verb conjugations and other grammatical paradigms should be committed to memory.

DIRECT METHOD

Principles

Reading in the target language should be taught from the beginning of language instruction; however, the reading skill will be developed through practice with speaking. Language is primarily speech. Culture consists of more than the fine arts

Objects present in the immediate classroom environment should be used to help students understand the meaning.

The native language should not be used in the classroom.

The teacher should demonstrate, not explain or translate. It is desirable that students make a direct association between the target language and meaning.

Students should learn to think in the target language as soon as possible. Vocabulary is acquired more naturally if students use it in full sentences, rather than memorizing word lists.

The purpose of language learning is communication (therefore students need to learn how to ask questions as well as answer them).

Pronunciation should be worked on right from the beginning of language instruction.

Self-correction facilitates language learning.

Lessons should contain some conversational activity-some opportunity for students to use language in real contexts. Students should be encouraged to speak as much as possible.

Grammar should be taught inductively. There may never be an explicit grammar rule given.

Writing is an important skill, to be developed from the beginning of language instruction.

The syllabus is based on situations or topics, not usually on linguistic structures.

Learning another language also involves learning how speakers of that language live.

SILENT WAY

Principles

The teacher should start with something the students already know and build from that to the unknown. Languages share a number of features, sounds being the most basic.

Language learners are intelligent and bring with them the experience of already learning a language. The teacher should give only what help is necessary.

Language is not learned by repeating after a model. Students need to develop their own "inner criteria" for correctness-to trust and to be responsible for their own production in the target language.

Students' actions can tell the teacher whether or not they have learned.

Students should learn to rely on each other and themselves.

The teacher works with the students while the students work on the language.

The teacher makes use of what students already know. The more the teacher does for the students what they can do for themselves, the less they will do for themselves.

Learning involves transferring what one knows to new contexts.

Reading is worked on from the beginning but follows from what students have learned to say.

Silence is a tool. It helps to foster autonomy, or the exercise of initiative. It also removes the teacher from the center of attention so he can listen to and work with students.

Meaning is made clear by focusing students' perceptions, not through translation.

Students can learn from one He another. The teacher's silence encourages group cooperation.

If the teacher praises (or criticizes) students, they will be less self-reliant. The teacher's actions can interfere with students' developing their own criteria.

Errors are important and necessary to learning. They show , the the teacher where things are unclear.

If students are simply given sup- answers, rather than being allowed to self-correct, they won't retain them.

Students need to learn to listen to themselves.

At the beginning, the teacher close needs to look for progress, not as perfection. Learning takes place in time. Students learn at different h her rates.

A teacher's silence frees' the teacher to closely observe the students' behavior.

Students learn they must give the teacher their attention in order not to miss what he says. Student attention is a key to learning.

Students should receive a great deal. of meaningful practice without repetition.

The elements of the language are introduced logically, expanding upon what students already know.

Students gain autonomy in the language by exploring it and by making choices.

Language is for self-expression.

The teacher can gain valuable information from student feedback; for example, he can learn what to work on next. Students learn how to accept responsibility for their own learning.

Some learning takes place 'naturally as we sleep. Students will naturally work on the day's lesson then.

The syllabus is composed of linguistic structures.

The structures of the syllabus are not arranged in a linear fashion, but rather are constantly being recycled.

The skills of speaking, reading, and writing reinforce one another.

Thursday, March 5, 2009

COMMUNICATIVE APPROACH IN LANGUAGE TEACHING

1. Tinjauan Umum Mengenai Kurikulum

Penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya adalah suatu proses untuk meyiapkan anak didik untuk menuju ke suatu arah tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Nana Syaodih (2001 : 3 ) “Setiap prektik pendidikan diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, apakah berkenan dengan penguasaan pengetahuan, pengembangan pribadi, kemampuan sosial, ataupun kemampuan bekerja”.

Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan suatu pedoman yang dapat membawa anak didik menuju ketujuan yang telah digariskan sehingga di dalam perjalanan tidak menyimpang kemana-mana. Pedoman tersebut dituangkan dalam kurikulum.

Kurikulum merupakan rencana tertulis yang berupa dokumen resmi yang dimaksudkan sebagai pedoman di dalam pelaksanaan pendidikan. Kurikulum memberikan arah demi tercapainya tujuan pendidikan berupa prilaku yang diharapkan.

Istilah kurikulum dalam pengertian yang luas digunakan oleh para ahli dalam dua pengertian sebagaimana yang dikemukakan oleh Zais (1976 : 1) yaitu ;

(1) Untuk menunjukan, suatu rencana untuk pendidikan anak didik, dan (2) menunjukan bidang studi Kurikulum sebagai suatu rencana biasanya merujuk kepada a curriculum atau the curriculum. Sementara itu kurikulum sebagai bidang studi, sebagaimana kebanyakan bidang spesialis, didefinisikan sebagai (1) sekumpulan substantive structure, dan (2) prosedur-prosedur inkuri dan praktek yang mengikutinya (the syntactical structure).

kurikulum terdiri atas komponen tujuan, materi, metode dan evaluasi.

Hal ini dijabarkan secara jelas oleh Tyler (1970) yang dapat dirangkum penyusun sebagai berikut :

1. Tujuan Pendidikan yang manakah yang ingin dicapai oleh sekolah ?

2. Pengalaman Pendidikan yang bagaimanakan yang harus disediakan untuk mencapai tujuan tersebut.

3. Bagaimana mengorganisasikan pengalaman pendidikan tersebut secara efektif

4. Bagaimana kita menentukan bahwa tujuan tersebut telah tercapai ?

Peran guru sebagai pengembang di dalam kurikulum 1994 jauh lebih luas. Dalam GBPP kurikulum 1994, guru tidak diberi saran atau petunjuk untuk melaksankan kegiatan belajar siswa. Guru harus membuat keputusan mengenai berbagai hal secara profesional sehingga proses belajar siswa yang dinyatakan dalam GBPP dapat terlaksana secara maksimum. Untuk itu guru harus membuat keputusan mengenai alokasi waktu yang diperlukan (GBPP hanya memuat alokasi waktu untuk satu catur wulan), strategi dan metoda mengajar yang digunakan sehingga proses bantuan terhadap kegiatan belajar siswa dapat diberikan secara maksimal. Selain metode dan alat evaluasi guru harus pula menentukan sumber belajar yang akan digunakan siswa. Ini memberikan tuntutan profesional baru bagi guru (Hamid Hasan, 1995:6).

GBPP Kurikulum 1984 meliputi Tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum (TIU), Bahan pengajaran yaitu :

a. Kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi

b. Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis

c. Kurikulum sebagai suatu kegiatan (porses)

d. Kurikulum sebagai suatu hasil belajar.

Di dalam makalah ini penyusun hanya membatasi membicarakan kurikulum sebagai rencana, proses dan hasil dalam bab ini dibatasi pada kurikulum sebagai rencana tertulis atau dokumen karena kurikulum sebagai proses dan hasil akan dibahas pada bab selanjutnya.

Kurikulum sebagai rencana merupakan terjemaahan ide harus dirumuskan mengikuti pola pedoman teknis kurikulum sebagai rencana, karena kurikulum sebagai ide tidak secara langsung dengan para pelaksana pendidikan. Sementara itu karena komunikasi yang disedikan oleh kurikulum sebagai rencana hanya searah menyebabkan ide yang disampaikan sering tidak dapat ditangkap oleh para pelaksana (Hamid Hasan, 1988 : 28-32).

2. Kurikulum Bahasa Inggris

Bahasa inggris adalah bahasa asing pertama di Indonesia yang dianggap penting untuk tujuan penyerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni

Guru menempati kedudukan sentral, sebab peran sangat menentukan. Ia harus mampu menterjemahkan menjabarkan nilai-nilai yang terdapat di dalam kurikulum kemudian metranformasikan nilai-nilai tersebut kepada siswa melalui proses pengajaran sekolah.

Apa yang kelihatannya mudah, dalam teori sering dalam implementasi tidak semudah itu. Kurikulum yang direncanakan atau dokumen kurikulum ketika di lapangan atau saat diimplementasikan sering berbeda dengan harapan. Hal ini salah satunya dapat di sebabakan oleh faktor guru sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini. Selain itu ada pula yang dinamakan dengan kurikulum yang tersembunyi atau hidden kurikulum yang berbeda dengan dokumen kurikulum. Sejalan dengan hal ini Mars (1980 : 5) mempertanyakan : “Apakah guru cukup memberikan prioritas di dalam menghubungkan konsep perencanaan mereka dengan proses mengajarnya? Suatu rencana kurikulum saat diimplementasikan di kelas selalu ada dilingkungan yang tidak terduga yang akhirnya membuat guru melaksanakan pendekatan tradisional yang telah diterima sebelumnya”, dan Nana Syaodih (2001 : 212) : “Beberapa ahli menyatakan bahwa betapapun bagusnya suatu kurikulum (official), tetapi hasilnya sangat bergantung pada apa yang dilakukan oleh guru dan juga murid dalam kelas (actual)”.

Hasil dari suatu pendidikan bukan hanya bergantung pada kurikulum tetapi ada hal-hal yang turut mempengaruhinya. Faktor guru misalnya sebagai orang yang berwenang menjalankan kurikulum pada tingkat kelas. Kurikulum hanyalah sebuah dokumen yang baru akan bermakna setelah diimplementasikan atau dilaksankan ke dalam proses belajar mengajar.

Guru sebagai pelaksana memegang peranan yang cukup penting. Tercapai tidaknya tujuan yang diharapkan tidak dapat dilepaskan dari pelaksana kurikulum dalam hal ini para guru di kelas. Bagaimana mereka menafsirkan kurikulum, menjabarkannya dalam disain pengajaran dan melaksanakan pengajaran sangat diwarnai oleh pengetahuan guru tersebut. Mengenai hal ini Nana Sudjana (1989 : 1) Menyatakan bahwa buku sumber lain atau meminta siswa untuk memfotocopy materi yang akan dipelajari. Di dalam penerapannya Surono dan Ahmad Margana (1995 : 7) Menambahkan bahwa :

GBPP Bahasa Inggris, karakteristik penyusunannya unik dibandingkan dengan GBPP mata pelajaran lain, disatu sisi guru sulit menyusun program pengajaran, sedangkan di sisi lain terbatasnya atau bahkan langkanya sumber yang dapat dipergunakan sebagai acuan KBM.”

3. Sejarah Lahirnya Pendekatan Komunikatif

Pendekatan komunikatif merupakan pengajaran bahasa yang lahir karena para ahli bahasa pada akhir tahun 1960-an menyadari bahwa ada sesuatu yang keliru dalam pengajaran bahasa pada saat itu. Perubahan terjadi dalam pengajaran bahasa tradisional British yang menggunakan Situational Language Teaching. Bahasa di sini diajarkan dengan memperaktekkan struktur dalam aktivitas-aktivitas yang berdasarkan situasi yang bermakna. Cara ini dianggap tidak membuat mereka berhadapan dengan situasi secara lisan ketika mereka berhadapan dengan situasi di luar kelas. Begitu pula di Amerika teori linguistik yang mendasari audiolingualism ditolak. Hal ini membuat ahli linguistik terapan Inggris mulai mempertanyakan landasan teori yang mendasari pengajaran bahasa situasional.

Belajar bahasa sebagaimana tersebut di atas tidak menjamin bahwa pengguna bahasa (pelajar) akan dapat berkomunikasi di dalam bahasa tujuan (target language). Hal ini senada dengan apa yang diidentifikasi oleh Stern seorang guru dari SMP yang menyatakan bahwa sebelum mengikuti pelatihan mengenai pendekatan komunikatif, ia lebih cenderung “mengajarkan sesuatu tentang bahasa bukan mengajarkan bahasa”. Berkaitan dengan hal ini Stern (1984 : 158) menyatakan bahwa :

1. Language is speech, not writing

2. A language is what is the native speaker say, not what someone thinks they to say

3. language are different

4. a language is a of habist

5. teach the language, not about the language

Sebelum membahas lebih jauh mengenai pendekatan komunikatif ada baiknya dibahas dahulu apa yang dimaksud dengan pendekatan. Dalam mempelajari bahasa dikenal adanya metoda, teknik, maupun pendekatan.

Richards (1985 : 17) dan Rogers (1985 : 18) : keduanya memberikan formulasi yang hampir sama yaitu : Pendekatan (approach) meliputi : hakekat bahasa dan belajar bahasa yang berfungsi sebagai referensi dan meletakkan dasar-dasar teori mengenai apa yang harus diakukan guru di dalam kelas. Setiap metoda (method) pengajaran bahasa beroperasi secara eksplisit dari teori bahasa dan teori bagaimana bahasa diperlajari. Disain (design) berhubungan langsung dengan pendekatan yang memberikan landasan bagi seleksi tehnik dan kegiatan mengajar. Sementara itu Richards menambahkan satu aspek lagi yaitu prosedur (procedure) yang berisi tehnik dan praktek dikelas yang serasi dengan desain tertentu.

Menurut Richards and Rodgers (1986 : 15) : Seorang ahli linguistik yaitu Edward Anthony pada tahun 1963 mengidentifikasi tiga level dari konseptualisasi dan organisasi yang diistilahkannya dengan approach, method, dan technique. Sususnanya merupakan hirarki. Kunci pengorganisasiannya adalah taknik mengandung metode yang konsisten dengan approach. Mengenai hal tersebut dijelaskan secara lebih rinci berikut ini :

. . . An approach is a set of correlative assumptions dealing with the nature of language teaching and learning. An approach is axiomatic. It describes the nature of the subject matter to be taught . . .

. . . method is an overall plan for the orderly presentation of language material, no part of which contradicts, and all of which is axiomatic, a method is procedural.

. . . a technique is implementational – that which actually takes pace in a classrom. It is a particular trick, strategem, or contrivance used to accoplish an immediate abjective. Techniques must be consistent with a method, and therefore in harmony with an approach as well.

Menurut model Anthony, pendekatan (approach) merupakan level dimana asumsi-asumsi dan kepercayaan tentang bahasa dan belajar bahas ditentukan : metode (method) merupakan level dimana teori diletakan dalam praktek. Di sini pula pilihan-pilihan diadakan mengenai keterampilan khusus yang akan diajarkan, konten tersebut akan disampaikan. Teknik merupakan level dimana prosedur di dalam kelas dijelaskan.

Pendekatan komunikatif dinamakan pendekatan karena dia merupukan dasar teoritis di dalam mempelajari bahasa. Pendekatan ini meletakan dasar-dasar teoritis bagaimana untuk membuat siswa dapat berkomunikasi, melalui prosedur pengajaran yang bermuara pada kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa yang dipelajarinya.

4. Pendekatan Komunikatif

Tujuan dari mempelajari suatu bahasa adalah agar dapat berkomunikasi dalam bahasa tersebut baik lisan maupun tulisan. Bahasa merupakan salah satu alat untuk berkomunikasi. Komunikasi dengan lawan bicara, penulis dengan pembaca.

Suatu bahasa sebagai suatu sistem komunikasi secara minimal dapat dihubungkan ke suatu (code) yang disampaikan oleh individu untuk tujuan mengirimkan pesan. Berdasarkan analogi ini, linguistik – bila kita mengadopsi penekanan Sausure kode, sistem hukum-hukum formal, yang dimanisfetasikan dalam ucapan atau pesan. Menerapkan analogi yang sama untuk pengajaran bahasa, tujuan dari mempelajari bahasa adalah untuk mengajarkan kode ‘code’ yaitu bahasa kedua, sehingga pelajar dapat mengcode ‘encode’ (speak/write) atau decode (listen/read) bahasa kedua.

5. Ciri-Ciri Pokok Pendekatan Komunikatif

Finochiaro and Brumfit (1983 : 91) memberikan ciri-ciri pendekatan (F-N) Functional – National yaitu :

1. Makna merupakan hal yan utama

2. Dialog bila digunakan berpusat pada fungsi komunikatif dan bukan Merupakan memorisasi

3. Kontekstualisasi merupakan premis utama

4. Belajar bahas adalah belajar berkomunikasi

5. Komunikasi yang efektif sangat diharapkan

6. Drilling dibolehkan, tetapi dilaksanakan secara sederhana dalam upaya mencapai tujuan utama.

7. Pronuciation yang dapat dipahami sangat diharapkan.

8. Setiap sarana yang akan membantu pelajar diperbolehkan bervariasi tergantung pada usia, minat dan lain-lain

9. Usaha untuk berkomunikasi dianjurkan bahkan sejak pertama.

10. Penggunaan bahasa asli secara bijaksana dibolehkan dimana perlu.

11. Terjemahan dapat digunakan bila dibutuhkan siswa dan siswa mendapatkan keuntungan darinya.

12. Membaca dan menulis saat dimulai dari hari pertama bila diinginkan.

13. Sistem linguistik bahasa sasaran akan dipelajari dengan baik melalui proses dari berusaha keras/perjuangan berkomunikasi.

14. Kompetensi komunikatif merupakan tujuan yang diharapkan (yaitu kemampuan untuk menggunakan sistem lingguistik secara efektif dan tepat).

15. Variasi linguistik merupakan konsep utama dalam materi dan metodologi

16. Pengurutan ditentukan oleh setiap pertimbangan mengenai konten, fungsi, atau makna yang menimbulkan minat.

17. Guru menolong siswa dengan cara apapun yang memotivasi mereka untuk bekerja dengan bahasa tersebut.

18. Bahasa tercipta oleh pribadi sering melalui trial and error.

19. Kelancaran dan keberterimaan bahasa merupakan tujuan utama : ketepatan dinilai bukan dalam abstrak tetapi dalam konteks.

20. Siswa diharapkan berinteraksi dengan orang lain baik berpasangan maupun dalam kelompok kerja, secara lisan atau tulisan.

21. Guru tidak mengetahui secara tepat bahasa apa yang akan digunakan siswa.

22. Motivasi instrinsik akan muncul dari minat mengenai apa yang akan dikomunikasikan siswa melalui bahasa.

Kemampauan komunikatif tidak dengan sendirinya diperoleh. Suatu latihan yang berkelanjutan sangat diharapkan dalam upaya menguasai kemampuan untuk dapat berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi seseorang harus : dasar yang dipersyaratkan untuk dapat berkomunikasi dalam bahasa tersebut. Setelah memahami kosa kata dan struktur minimal, pelajar harus mampu menggabungkan kata demi kata utnuk membentuk kalimat yaitu mengepresikan proposition. Menghasilkan contoh dari usage : di mana pengetahuan yang abstrak dimanifrestasikan. Usage merupakan salah satu aspek dari performance dimana aspek ini memberi bukti tingkat dimana pengguna bahasa mendemonstrasikan kemampuannya mengenai hukum linguistik. Use merupakan aspek lainnya dari performance dimana pengguna bahasa mendemonstrasikan kemampuannya untuk menggunakan pengetahuannya mengenai hukum-hukum bahasa untuk komunikasi yan efektif, Richards 1982 : 82 dan Widdowson : 1990 : 3, 22-26).

6. Kegiatan-Kegiatan Yang Menunjang Kemampuan Komunikatif

Kemampuan komunikatif merupakan suatu kemampuan yang diperoleh melalui serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk membuat siswa memperaktekkan kegiatan-kegiatan komunikasi. Siswa yang telah memiliki sejumlah kosa kata dasar yang dibutuhkan dalan suatu percakapan dapat diajak untuk mempraktekkan kegiatan-kegiatan komunikasi. Struktur bahasa dipelajari secara internalisasi yaitu secara tidak sadar dimasukkan saat mereka memperaktekkan kegiatan-kegiatan komunikatif. Kegiatan komunikatif terdiri atas pre-communicative dan communicative

Melalui kegiatan-kegiatan pre-communicative, guru mengisolasi elemen pengetahuan dan keterampilan khusus yang menyusun kemampuan komunikatif, dan menyediakan kesempatan untuk mempraktekkannya secara tepisah bagi pelajar. Di sini pelajar dilatih dengan aktivitas-aktivitas belajar sebagaimana dapat ditemukan dalam buku teks dan buku pegangan metodologi seperti berbagai jenis drill atau praktek bertanya-jawab. Tujuan adalah untuk mempersiapkan sisa dengan sistem linguistik yang lancar, tanpa diharuskan menggunakan sistem ini untuk tujuan berkomunikasi. Tujuan utama yan diharapkan dari pelajar adalah menghasilkan bahasa yang diterima (yaitu yang keakuratan dan ketepatannya, bukan untuk dengan murid dan antara murid dan guru. Hubungan tersebut dapat menolong untuk humanisasi kelas dan menciptakan lingkungan yang mendukung pribadi dalam usahanya untuk belajar.

7. Memahami Konsep Makna

Bahasa dipergunakan sesuai dengan situasi dan konteks sosialnya. Begitu pula bahasa itu mengandung makna : Struktural dan fungsional di dalam dirinya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh pembicara. Hymes and Holliday (1987 : 1) menyatakan bahwa : “ Mastery of language use’- teaching the student how ‘to mean’ as well as how ‘to form’ has not of course been entirely neglected”.

Pendengar harus dapat memahami makna yang diungkapkan oleh pembicara karena bila tidak, apa yang dimaksudkan oleh pembicara dapat ditafsirkan secara salah. Kalimat : “Why don’t you close the door?”. Dari sudut pandang struktural kalimat tersebut merupakan kalimat negatif. Dari sudut pandang fungsional kalimat tersebut dapat berfungsi sebagai suatu pertanyaan – sebagai contoh, pembicara benar-benar ingin mengetahui mengapa temanya tidak pernah menutup pintu kalau keluar. Kalimat tersebut juga dapat berupa perintah dalam hal seorang guru yang menyuruh muridnya utuk menutup pintu ketika keluar. Dalam situasi yang lain dapat berupa permohonan, saran, atau keluhan. Dengan kata lain struktur kalimat tersebut tetap namun fungsi komunikatifnya bervariasi tergantung kepada situasi dan faktor sosialnya. (Littlewood : 1981 ; 1-2).

8. Peranan Guru

Seorang guru berkewajiban untuk menguasai kurikulum termasuk di dalamnya GBPP. Hal ini akan membantunya di dalam mengoperasionalkan kurikulum tersebut di dalam kelas. Selain itu guru harus paham dengan metoda mengajar yang diharapkan oleh kurikulum. Sri Utari (1993 : 121) memberikan kriteria guru yang bagaimana yang diharapkan untuk mampu mengajar bahasa Inggris dengan menggunakan pendekatan komunikatif :

(a) Mengetahui bagaimana berkomunikasi dalam bahasa itu :

(b) Mengerti dan mengetahui latar belakang teori tentang pendekatan komunikatif.

(c) Mampu menyampaikan materi pelajaran kepada pelajarannya secara komunikatif.

Kemampuan guru untuk berkomunikasi dalam bahasa yang diajarkan sangat penting. Menggunakan bahasa Inggris di kelas dapat melatih siswa untuk mempraktekkan bahasa tersebut. Guru juga turut untuk terus meningkatkan pengetahuannya tentang metode mengajar. Ilmu pengetahuan yang berkembang dengan pesat sering jauh melebihi kemampuan guru untuk mengikutinya. Bila tidak kreatif guru akan terus mengajar dengan metode yang sama dari tahun ke tahun tanpa terpengaruh oleh apa yang dituntut di dalam kurikulum. Berhubungan dengan hal ini, Stern (1984 : 75) menyatakan :

Apakah kita mengajar sebagaimana kita diajar dahulu? Ataukah kita bereaksi dalam cara kita sendiri berdasarkan pengalaman yang kita peroleh? Perubahan apa selama berlalunya waktu dalam filsafat pelajaran kita yang mampu kita deteksi dan apa yang telah mendorong perubahan-perubahan ini? Apa yang merupakan perubahan yang dominan di dalam teori kita sendiri?.

Lebih jauh menyatakan bahwa : “Guru seringkali menganggap dirinya sebagai orang lapangan. Bahkan ada yang dinyatakan oleh teori itu sangat sempurna tetapi apa yang dinyatakan oleh teori itu sangat sempurna tetapi tidak dapat diterapkan di dalam praktik”, 1984 : 23. sebagaimana mereka tidak dapat menerapkan pendekatan komunikatif. Mereka lebih cenderung pada model elektik. Dalam hal ini guru kembali kepada model lama yang telah begitu akrab dengan mereka. Hal ini sejalan dengan pendapat Widdowson sebagaimana dikutip Stern (1984 : 29) : “For example many language teahers consider themselves to be eclecties teaching approach nor do they base their philosophy on a named psychological or linguistic theory”.

Siswa sebagai orang yang mempelajari bahasa sepatutnya mendapat perhatian sehingga pendekatan komunikatif berpusat pada siswa. Siswalah orang yang diharapkan mampu berkomunikasi setelah mempelajari bahasa Inggris. Guru berupaya agar siswa mau berinteraksi secara aktif baik dengan guru dan sesama siswa dengan menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan siswa mau menggunakan bahasa yang dipelajarinya untuk berkomunikasi. Belajar dilaksanakan dengan mempraktekkan bentuk-bentuk bahasa yang telah dipelajari ke dalam kegiatan-kegiatan komunikasi. Dalam hal ini siswa aktif. Mereka harus diberi pengertian bahwa belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi dalam bahasa tersebut. Dengan demikian siswa harus banyak melakukan praktek menggunakan bahasa tersebut melalui tugas-tugas yang disiapkan guru. Hal ini sejalan dengan butir k dalam GBPP Bahasa Inggris 1993:5 yaitu : “Siswa harus berperan aktif dalam proses komunikatif”. Mereka harus diberi motivasi agar mau berkomunikasi. Bahkan salah atau benar tetapi yang terpenting yaitu orang atau lawan bicara memahami pesan yang disampaikan. Breen and Candlin dalam Richards (1985:22) menyatakan bahwa :

The role of learner as negotiator – betwen the self, the learning process, and the object of learning – emerges from and interacts with the role of joint negotiator within the group and within the classroom procedures and activities which the group undertakes. The implication for the learner is that he should contibute as much as he gains, and there by learn in an interdependent way.

Untuk menciptakan situasi yang memungkinkan siswa dapat berinteraksi dalam bahasa Inggris, maka suasana kelas harus akrab, rileks sehingga siswa tidak merasa malu untuk berkomunikasi. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai tugas, kegiatan-kegiatan dan permainan-permainan yang mendorong terjadinya komunikasi. Mereka harus dibiasakan untuk mengemukakan pendapat-pendapatnya dengan keyakinan bahwa apa yang mereka lakukan tidak akan ditertawakan. Mereka dibiasakan untuk berbicara di kelas dalam pelajaran bahasa Inggris dengan menggunakan bahasa Inggris. Misalnya ingin menanyakan sesuatu pada guru atau meminta ijin keluar untuk sesuatu urusan. Dalam hal ini tentu yang utama guru harus menggunakan bahasa Inggris juga di dalam mengajar.

Stern (1981:177) menyatakan bahwa : “While not repediating a formal linguistic analysis, they welcomed the shift in interest in linguistic, theory towards discourse analysis, sematics, speech act theory, seciolinguistics and pragmatics”. Dengan mendasarkan dirinya pada speech act theory dan discourse analysis dan dengan diperkenalkan kepada pandangan sosiolinguistik, para ahli menjadi lebih dekat kepada penggunaan bahasa di dalam kehidupan yang sesungguhnya. Hal ini membuat pengajaran bahasa lebih relevan dengan kebutuhan siswa yang akan digunakannya dalam percakapan sehari-hari, bukan suatu pengajaran mengenai ilmu bahasa semata, tetapi bagaimana mengaitkan pengetahuan mengenai kebahasaan tersebut ke dalam penggunaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Bogdan-Robert, C. and Biklen-Sari Knopp. (1992). Qualitative Research for Education. USA : Allyn and Bacon.

DEPDIKBUD. ( 1994 ). GGBP Bahasa Inggris SLTP. Jakarta : DEPDIKBUD

Erickson-Frederick. ( 1986). Edited by : Wittrock-Merlin C.. Handbook of Research on Teaching. London : Macmillan.

Feisal – Yusuf Amir, et al. (1990 ).Penggunaan Pendekatan Komunikatif dalam Pengajaran Bahasa Inggris di SMP : Bandung : IKIP Bandung.

Finocchiaro – Mary. and Brumfit-Christopher. (1983) Functional – National Approach From Theory to Practive. New York : Oxford University Press.

Hasan – Hamid ( 1988 ). Evaluasi Kurikulum, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Killen – Roy. ( 1998 ), Effective Teaching Strategies. Australia : Social Science Press.

Kindsvatter – Richard, et all. (1996). Dinamic of Effective Teaching. Network : Longmen Publishers USA.

Liitlewood-Wiliam. (1981). Communicative Language Teaching ; An Introduction. Cambridge : Cambridge University Press.

Nasution, S. (1991). Pengembangan Kurikulum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti

Nasution, S. (2001). Asas-Asas Kurikulum. Bandung : Bumi Aksara.

Richards – Jack, C. (1985). Approach and Methods in Language Teaching. Cambridge : Cambridge Language University Press.

Richards-Jack, C. and Rodgers-Thedore, S. (1986). The Context of Language Teaching, Cambridge : Cambridge Language University Press.

Sukmadinata – Nana Syaodih. (2001). Pengembangan Kurikulum : Teori dan Praktek PT. Remadja Rosdakarya : Jakarta.

Sudjana – Nana (1989). Dasar – Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru.

Surono, and Margana – Ahmad. (1995). Masalah – masalah Operasional dalam Penerapan Kurikulum SLTP dan PMU dan Upaya Pemecahannya. Dalam Seminar dan Diskusi panel Latar Belakang Konsep, dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah 1994. bandung : IKIP Bandung.

Stern. H.H. (1983). Fundamental Concepts of Language Teaching. Oxford : Oxford University Press.

Swan – Michael. ( 1990 ). A Critical Look at the Communicative Approach in Currents of Change in English Language Teaching : Edited by Rossner et al. oxford : Oxford Unversity Press.

Tarigan – Henry Guntur. ( 1989 ). Pengajaran Kompetensi Komunikatif ; Suatu Penelitian Kepustakaan. Jakarta : DEKDIKBUD.

Tilaar, H.A.R. (1991). Sistem Pendidikan Nasional yang Kondusif bagi Pengembangan Masyarakat Industri Modern Berdasarkan Pancasila. Disajikan pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional V. Jakarta.

Tyler – Ralph W. ( 1971 ). Basic Principles of Curriculum and Instruction, USA : The University of Chicago Press.

Universitas Pendidikan Indonesia. (2002). Pedoman Penelitian Karya Ilmiah. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

Usman – Moch. Uzer. ( 1996 ). Menjadi Guru Profesional. Bandung : remaja Rosda Karya.

Zais – Robert S. (1976). Curriculum : Principles and Foundation. New York : Harper and Row Publishers, Inc.