Puji syukur penyusun sampaikan kehadiral Allah S.W.T. atas karunianya memberikan kesehatan lahir maupun bathin hingga penyusun dapat menyelesaikan buku ini.
Filsafat ilmu adalah merupakan fondasi dari ilmu yang ada. Salah satu nya adalah Filsafat Ilmu Bahasa yang merupakan fondasi dari Ilmu Kebahasaan itu sendiri.
Prinsip dasar bahasa adalah sebagai produk dari budaya yang secara ilmiah terus berkembang. Bahasa merupakan harta yang tak temilal dalam budaya manusia yang terpelihara dan diturunkan secara turun temurun dari generasi ke generasi melalui pendidikan. Bahasa tidak diwariskan melalui serangkaian proses seperti halnya sifat‑sifat dasar alamiah dan tidak pula ditularkan melalui penyakit tertentu. Seseorang dapat berbicara dalam bahasa tertentu karena ia tinggal dan diam menjadi bagian dari suatu komunitas masyarakat dimana ia tinggal dan dibesarkan. Dari hal tersebut maka dalam buku ini akan dikupas tentang variabel yang berhubungan dengan filsafat ilmu bahasa, dari sejarah perkembangan, teori yang muncul, dan fakta yang terjadi di masyarakat.
Penulis berharap buku ini dapat bermanfaat dan membantu mahasiswa (khususnya bagi mahasiswa STKIP pasundan cimahi) dalam memahami tentang Kebahasaan dan filsafatnya sendiri, guna menunjang pemerolehan tentang kebahasaan yang dimiliki.
Cimahi, Agustus 2004
Henry Asmara
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I Sekilas Tentang Filsafat Ilmu 1
1. 1. Tradisi Keilmuan di Barat 1
1. 2. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya 6
1. 3. Objek Kajian Filsafat Ilmu 11
1.3.1. Ontologi 11
1.3.2. Epistemologi 16
1.3.3. Aksiologi 24
BAB II Ilmu Dalam perspektif 27
2. 1. Fakta 27
2. 2. Kepercayaan 27
2. 3. Kebenaran 29
2. 4. Pengetahuan 29
2. 5. Teori Ilmu 30
2.5.1. Bacon dan Teori Induktif 31
2.5.2. Pendekatan Induktif-Deduktif Modern 31
2. 6. Perkembangan Ilmu 31
2.6.1. Ilmu Animisme 31
2.6.2. Ilmu Empirisme 32
2.6.3. Ilmu Teoretisme 34
2. 7. Metode Dalam Mencari Ilmu Pengetahuan 35
2.7.1. Rasionalisme 35
2.7.2. Empirisme 35
2.7.3. Kombinasi antara Rasionalisme dan
Empirisme 36
BAB III SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA 38
3. 1. Teori-teori Tentang Asal Muasal Bahasa 38
3. 2. Evolusi Bahasa 39
3. 3. Slang, Cant dan Jargon 39
3. 4. English British dan American English 40
BAB IV Filsafat analitik dan filsafat
hermeneutik 43
4. 1. Filsafat Analitik:Positivisme dan Bahasa
Sehari-hari 43
4. 2. Filsafat Hermeneutik:Wawasan dan Kembali
ke Mitos 58
BAB V Language (kebahasaan) 70
5. 1. Bahasa Sebagai Produk Kebudayaan 71
5. 2. Lambang-lambang Bahasa 73
5. 3. Bahasa dan Makna 74
5.3.1. Persistensi Dalam Asosiasi 74
5.3.2. Pluralitas dalam Lambang 75
5.3.3. Pendidikan dan Keutamaan dari Makna 75
5.3.4. Indra-Ruang dan Waktu 75
5. 4. Aturan Kombinasi 76
5.4.1. Pengetahuan Formal 77
5.4.2. Bermacam Makna 77
5.4 3. Keterbatasan Bahasa 78
5. 5. Bahasa dan Sifat Alamiah Manusia 78
5. 6. Bahasa dan Lingkungan Sosial 79
5.6.1. Komunikasi 79
5.6.2. Bahasa dan Kebudayaan 79
5. 7. Studi Tentang Bahasa Asing 80
5.7.1. Bahasa Asing untuk Bepergian 80
5.7.2. Memahami Asal 80
5. 8. Bahasa dan Realitas 81
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
Sekilas Tentang Filsafat Ilmu
1.1. Tradisi Keilmuan di Barat
Zaman Yunani kuno berlangsung kirakira dari abad ke 6 S.M. hingga awal abad pertengahan, atau antara + 600 tahun S.M. hingga tahun 200 SM. Zaman ini dianggap sebagai cikal bakal filsafat yang ada sekarang.
Pada zaman ini mite‑mite digantikan oleh logos (baca: rasio) setelah mite‑mite tersebut tidak dapat lagi menjawab dan memecahkan problema‑problema kosmologis.
Pada tahap ini bangsa Yunani mulai berpikir sedalam‑dalamnya tentang berbagai fonomena alam yang begitu beragam, meninggalkan mitos‑mitos untuk kemudian torus meneliti berdasarkan reasoning power.
Contoh yang paling populer dalam hal ini adalah mengenai persepsi orang‑orang Yunani terhadap pelangi. Dalam masyarakat tradisional Yunani, pelangi dianggap sebagai dewi yang bertugas sebagai pesuruh bagi dewadewa lain. Tetapi bagi mereka yang sudah berpikir maju, pelangi adalah awan sebagaimana yang dikatakan oleh Xenophanes, atau pantulan matahari yang ada dalam awan seperti yang dikatakan oleh Pythagoras (499‑420 SM). Demildanlah apa yang menjadi perhatian para ahli pikir Miletos, sebuah kota di Yunani pertama kali adalah alam (problema kosmologis).
Zaman ini melahirkan pakar‑pakar filsafat yang berjasa besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya, Thales (+ 625‑545 S.M), Anaximandors (+ 610540 S.M), Anaximanes (+ 538‑480 S.M), Pythagoras (+580500 S.M) Xenophanes (+570‑480 S.M) Heraklistos (+ 540475 S.M) dan seterusnya.
Thales misalnya yang pertama kali mempertanyakan dasar dari alam dan segala isinya. Dia mengatakan, bahwa asal mula. dari segala sesuatu adalah air.
Sedangkan menurut Anaximandros, bahwa asal segala sesuatu adalah apeiron (yang tak terbatas) yang disebabkan oleh perceraian (ekskrisis). Lain lagi dengan Anaximanes, dia berpendapat bahwa asal segala sesuatu adalah hawa atau udara.
Pendapat Thales dan kawan‑kawan sezamannya itu hingga sekarang masih aktual dan menarik sebagai inspirasi bagi munculnya teori tentang proses keiadian sesuatu (evolusionisme).
Dalam hal berpikir logika deduktif, nama Aristoteles (384‑322 S.M) adalah tidak bisa dilupakan. Dasar‑dasar berpikirnya tetap mendominasi para ilmuwan di Eropa hingga dewasa ini. Aristoteles adalah murid Plato (427‑347 S.M) dan Plato adalah murid Soluates (469‑399 S.M). Perbedaan pendapat pada masa ini sudah timbul mesld dengan gunmya, seperti Plato dengan Aristoteles, juga filosuf‑filosuf yang lain.
Hingga kini logika Aristoteles tetap terpakai, sebab logika tersebut dapat diaplikasikan pada perkembangan mutakhir berbagai ilmu dan teknologi. Mula‑mula logika Aristoteles menjelina dalam prinsip kausalitas ilmu alam (natural science), kemudian menjelma menjadi logika ekonomi di dalam industri (Cony R. Semiawan et.al, 1988:10).
Pasca Aristoteles, kirakira lima abad kemudian, muncul lagi pemikir‑pemikir jenius seperti Plotinus (284-269 S.M). Zaman ini adalah zaman filsafat Hellenisme dibawah pemerintah Alexander Agung. Hanya zaman ini berbeda sekali dengan zaman Aristoteles, dimana perkembangan ilmu tidak mengalami kemajuan yang pesat hingga abad pertengahan. Pada masa ini pemikiran filsafat yang teoretis menjadi praktis dan hanya menjadi kiat hidup saja. MunctU pula aliran yang bercorak religius, misalnya: filsafat neo‑Pythagoras, Platoriis Tengah, Yahudi dan Platonisme, termasuk aliran yang bersifat etis, Epikuros dan Stoa (Harun Hadiwijono, 1989: 54).
Pasca Yunani, bangsa yang berbudaya tinggi adalah Romawi. Dapat dikatakan, bahwa dalam kegiatan keilmuan bangsa Romawi pada umumnya hanya berpegang pada karya‑karya tokoh Yunani, terutama Aristoteles yang tanpa banyak mengadakan perubahan (Cony, et.al., 1988:14).
Sejak runtuhnya kerajaan Romawi non‑Katholik dan mulai berkembangnya agama Katholik Roma, kerajaan‑kerajaan di Eropa masuk dalam. abad kegelapan, abad kemandekan kegiatan. keilmuan yang disebabkan antara lain karena para penguasa kerajaan di Eropa tidak concern terhadap perkembangan keilmuan disamping terlalu kuatnya pengaruh otoritas agama (Cony, at.al, 1988:14).
Sangat beruntung, selama kurun waktu ini di Timur Tengah, kerajaan‑kerajaan bangsa Arab yang diwarnai oleh Islam berkembang pesat dalam kegiatan keilmuan. Dengan didudukinya daerah‑daerah Yunani dan Romawi secara berangsur‑angsur oleh bangsa Arab, maka para ilmuwan mereka dapat menemui khazanah pengetahuan yang sudah maju saat itu. Kemudian mereka melakukan pengembangan lebih lanjut dengan memberikan ciri‑ciri khas penalaran dan penemuan mereka sendiri. Jadi merekalah (baca: kaum muslimin) yang sesungguhnya mengisi kesenjangan perkembangan ilmu dan pengetahuan saat Eropa dilanda "kegelapan" (Cony, et.al., 1988:15).
Pasca Hellenisme dan Romawi kemudian disusul dengan masa patristik (Timur maupun Barat). Disebut demildan karena masa ini adalah masa bapak‑bapak gereja, kira‑kira pada abad ke‑8. Para pemildr Kristen pada zaman ini mengambil. sikap yang berbeda‑beda, ada yang menerima filsafat Yunard dan ada yang menolak mentahmentah, karena filsafat dianggap berbahaya bagi iman Kristen (Harun Hadiwijono, 1989: 70).
Setelah ini kemudian muncul zaman pertengahan, atau disebut juga dengan zaman baru Eropa Barat. Sebutan Skolastik menggambarkan bahwa i1mu pengetahuan abad ini diajarkan oleh sekolah‑sekolah gereja (Han.in, 1989: 87).
Pada zaman pertengahan ini ilmu dikembangkan dan diarahkan atas dasar kepentingan agama (Kristen) dan baru memperoleh kemandiriannya semenjak adanya gerakan Renaissance dan Aufklarung abad ke‑15 dan 18. Semenjak itu pula manusia merasa bebas, tidak terikat oleh agama, tradisi, sistem, otoritas politik dan sebagainya (Koento Wibisono, 1988: 4). Sejak saat inilah filsafat Barat menjadi sangat antroposentris, manusia bebas "mengadili" dan menghakimi segala sesuatu yang dihadapinya dalam hidup dan kehidupannya. Pada saat ini pulalah filsafat dan agama menjadi mencair tidak manunggal lagi. Agama. mendasarkan diri atas iman dan kepercayaan, kebenaran wahyu dan firman Tuhan, sementara filsafat dengan mengembangkan rasio dan pengalamannya mencoba menjawab permasalahan‑permasalahan yang dihadapi dengan semangat "kebebasan” dan "pembebasan" manusia dalam hidup dan kehidupannya (Koento Wibisono, 1985: 7‑8).
Diawali oleh metode berpikir ala Bacon (15611626 M) disamping tampilnya "anak‑anak" renaissance, seperti: Copemicus (1473‑1630 M), Galileo (1564‑1642 M), Kepler (1571‑1630 M) dengan hasil‑hasil penelitiannya yang spektakuler, maka tibalah gilirannya kini filsafat ditinggalkan oleh ilmu‑ilmu alam (natural sciences). Para filosuf sendiri sangat terpukau oleh keberhasilan metode ilmu pasti dan ilmu alam, sehingga timbullah gagasan di antara mereka untuk menerapkan metode tersebut dalam filsafat, misaInya Newton (1643‑1727 M) dengan Philsopohae Naturalis Principia Mathematica‑nya, Descartes (1596‑1650 M) dengan Discours de la Methode‑nya, Spinoza (1632‑1677 M) dengan karya Ethic‑nya dan seterusnya, yang dengan pengembangan teori‑teori tersebut mereka dipandang sebagai "Bapak" filsafat modem (Koento Wibisono, 1985: 7‑8).
Hampir dua abad lamanya, filsafat dimulai sejak abad ke‑16 diisi oleh pergumulan hebat antara rasionalisme dan empirisme, sehingga seorang pakar besar Immanuel Kant (1724‑1804 M) dengan karyanya yang masyhur, Kritik der reinen Vemunft berhasil "memugar" objektivitas ilmu pengetahuan modem (Koento Wibisono, 1985:7‑8).
Demikianlah kemajuan berpikir manusia dari kurun ke kurun mengalami perkembangannya, mulai dari zaman Yunani Kuno, zaman renaissance (abad ke‑15), Aufklarung (abad 18) hingga abad ke‑19 dan abad ke‑20, mulai dari J.C. Fichte (1762‑1814 M) hingga Gabriel Marcel (1889‑1973 M), bahkan hingga sekarang ini.
1.2. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya
Sebagaimana pendapat umum, bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang kebijaksanaan, prinsipprinsip mencari kebenaran, atau berpikir rasional‑logis, mendalam dan bebas (tidak terikat dengan tradisi, dogma agama) untuk memperoleh kebenaran. Kata ini berasal dari Yunani, Philos yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom).
Ilmu adalah merupakan bagian dari pengetahuan, demildan pula seni dan agama. Jadi dalam pengetahuan tercakup didalamnya ilmu, seni dan agama. Filsafat sebagaimana pengertiannya semula bisa dikelompokkan kedalam bagian pengetahuan tersebut, sebab pada permulaannya (baca: zaman Yunani Kuno) filsafat identik dengan pengetahuan (baik teoretis maupun praktik). Akan tetapi lama kelamaan ilmu‑ilmu khusus menemukan kekhasannya, sendiri untuk kemudian memisahkan diri dari filsafat. Gerak spesialisasi ilmu‑ilmu itu semakin cepat pada zaman modem, pertama ilmu‑ilmu eksakta, lalu diikuti oleh ilmuilmu sosial seperti: ekonomi, sosiologi, sejarah, psikologi dan seterusnya. (Lihat Franz Magnis Suseno, 1991:18 dan Van Peursen, 1989: 1).
Ilmu berusaha memahami alam sebagaimana adanya, dan hasil kegiatan keilmuan merupakan alat untuk meramalkan dan mengendalikan gejala‑gejala alam. Pengetahuan keilmuan merupakan sari penjelasan mengenai alam yang bersifat subjektif dan berusaha. memberikan makna sepenuh‑penuhnya mengenai objek yang diungkapkannya. Dan agama (sebagiannya) adalah sesuatu yang bersifat transendental di luar batas pengalaman manusia (Dep. P & K, tt.: 21 dan lihat Cony et al. 1988: 45).
Secara garis besar, Jujun S. Suriasumanteri (dalam A.M. Saifuddin et.al, 1991:14) menggolongkan pengetahuan menjadi tiga kategori umum, yakni: (1) pengetahuan tentang yang baik dan yang bunik (yang disebut juga dengan etika/agama); (2) pengetahuan tentang indah dan yang jelek (yang disebut dengan estetika/seni) dan (3) pengetahuan tentang yang benar dan yang salah (yang disebut dengan logika/ilmu). Ilmu merupakan suatu pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tak lagi merupakan misteri.
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu. Dengan demikian ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama. Sebab secara ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuld pula daerah jelajah yang bersifat transendental yang berada di luar pengalaman manusia itu (Jujun, 1990:104-105). Sedangkan sisi lain dari pengetahuan mencoba mendeskripsikan sebuah gejala dengan sepenuh‑penuh maknanya, sementara. ilmu. mencoba mengembangkan sebuah model yang sederhana mengenai dunia empiris dengan mengabstraksikan realitas menjadi beberapa variabel yang terikat dalam sebuah hubungan yang bersifat rasional. Ilmu mencoba mencarikan penjelasan mengenai alam yang bersifat umum dan impersonal, sementara. seni tetap bersifat individual dan personal, dengan memusatkan perhatiannya pada "pengalaman hidup perorangan" (Jujun, 1990: 106‑107).
Karena pengetahuan ilmiah merupakan a higher level of knowledge dalam perangkat‑perangkat kita seharihari, maka filsafat ilmu tidak dapat dipisahkan dari filsafat pengetahuan. Objek bagi kedua cabang ilmu itu seringsering tumpang tindih (Koento Wibisono, 1988: 7).
Filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri‑ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara‑cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut (Beerling, et al., 1988:1‑4). Filsafat ilmu erat kaitannya dengan filsafat pengetahuan atau epistemologi, yang secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk‑bentuk pengalaman manusia, juga mengenai logika dan metodologi.
Untuk menetapkan dasar pemahaman tentang filsafat ilmu tersebut, sangat bermanfaat menyimak empat titik pandang dalam filsafat ilmu, yaitu:
1. Bahwa filsafat ilmu adalah perumusan world‑view yang konsisten dengan teori‑teori ilmiah yang penting. Menurut pandangan ini, adalah merupakan tugas filosuf ilmu untuk mengelaborasi imphkasi yang lebih luas dari ilmu;
2. Bahwa filsafat ilmu adalah suatu eksposisi dari pre-supposition dan pre‑disposition dari Para ilmuwan.
3. Bahwa filsafat ilmu adalah suatu disiplin ilmu yang didalamnya terdapat konsep‑konsep dan teori‑teori tentang ilmu yang dianalisis dan diklasifikasikan;
4. Bahwa filsafat ilmu merupakan suatu patokan tingkat kedua. Filsafat ilmu menuntut jawaban terhadap pertanyaan‑pertanyaan sebagai berikut:
a. Karakteristik‑karakteristik apa yang membedakan penyelidikan ilmiah dan tipe penyelidikan lain?
b.Kondisi yang bagaimana yang patut dituruti oleh Para ilmuwan dalam penyelidikan alam?
c.Kondisi yang bagaimana, yang harus dicapai bagi suatu penjelasan ilmiah agar menjadi benar?
d.Status kognitif yang bagaimana dari prinsip‑prinsip dan hukum‑hukum ilmiah? (Cony, atat,. 1988:44).
Pada masa renaissance dan aufklarung ilmu telah memperoleh kemandiriannya. Sejak itu Pula manusia merasa bebas, tidak terikat dengan dogma agama, tradisi maupun sistem sosial. Pada masa ini perombakan secara fundamental di dalam sikap Pandang tentang apa hakikat ilmu dan bagaimana cara perolehannya telah terjadi.
Ilmu yang kini telah mengelaborasi ruang lingkupnya yang menyentuh sendi‑sendi kehidupan umat manusia yang paling dasariah, baik individual maupun sosial memiliki dampak yang amat besar, setidaknya menurut Koento (1988: 5) ada tiga hal: pertama, ilmu yang satu sangat berkait dengan yang lain, sehingga sulit ditarik batas antara ilmu dasar dan ilmu terapan, antara teori dan praktik; kedua semaldn kabumya garis batas tadi sehingga timbul permasalahan sejauh mana seorang ilmuwan terlibat dengan etika dan moral; ketiga, dengan adanya implikasi yang begitu luas terhadap kehidupan manusia, timbul pila permasalahan akan makna ilmu itu sendiri sebagai sesuatu yang membawa kemajuan atau malah sebalilmya (Untuk ini lihat pula Peursen, 1989: 1).
Filsafat ilmu pengetahuan (theory of knowledge) dimana logika, bahasa, matematika termasuk menjadi bagiannya lahir pada abad ke‑18. Dalam filsafat ilmu pengetahuan disehdild apa yang menjadi sumber pengetahuan, seperti pengalaman (indera), akal (verstand), budi (vemunft) dan intuisi. Diselidiki pula arti evidensi serta syarat‑syarat untuk mencapai pengetahuan ilmiah, batas vahditasnya dalam menjangkau apa yang disebut sebagai kenyataan atau kebenaran itu (Koento Wibisono, 1988: 5). Dari sini lantas muncul teori empirisme (John Lock), rasionalisme (Rene Descartes), Kritisisme (Immanuel Kant). Posisitivisme (Auguste Comte), fenomenologi (Husserl), Konstruktivisme (Feyeraband) dan seterusnya. Sejalan dengan itu, masing‑masing aliran ini atau disebut juga school of thought, memiliki metodenya sendiri‑sendiri, sehingga metodologi menjadi bagian yang sangat menarik perhatian.
Filsafat ilmu sebagai kelanjutan dari perkembangan filsafat pengetahuan, adalah juga mempakan cabang filsafat. Ilmu yang objek sasarannya adalah Umu, atau secara populer disebut dengan ilmu tentang ilmu. (Koento Wibisono, 1988:6).
Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahapsekarang ini filsafat flmu juga mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu, yang juga etik dan heuristik, bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap arti dan makna bagi kehidupan umat manusia (Van Peursen, 1989: 96).
1.3. Objek Kajian Filsafat Ilmu
1.3.1. Ontologi
Tiap‑tiap pengetahuan memiliki tiga komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen tersebut adalah: ontologi, epistemologi dan aksiologi (Jujun, 1986: 2).
Ontologi menjelaskan mengenai pertanyaan apa, epistemologi menjelaskan pertanyaan bagaimana dan aksiologi menjelaskan pertanyaan untuk apa. Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan‑lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Sejak dini dalam pikiran Barat sudah menunjukkan munculnya perenungan ontologis, sebagaimana Thales ketika ia merenungkan dan mencari apa sesungguhnya hakikat"yang ada" (being) itu, yang pada akhimya ia berkesimpulan, bahwa asal usul dari segala sesuatu (yang ada) itu adalah air.
Ontologi merupakan azas dalam menetapkan batas ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika) (Jujun, 1986:2). Ontologi meliputi permasalahan apa haldkat ilmu itu, yang inheren dengan pengetahuan itu, yang tidak terlepas dari pandangan tentang apa dan bagaimana yang ada (being) itu. Paham idealisme atau spiritualisme, materialisme, dualisme, pluralisme dan seterusnya merupakan paham ontologis yang akan menentukan pendapat dan bahkan keyakinan kita masing‑masing tentang apa dan bagaimana kebenaran dan kenyataan yang hendak dicapai oleh ilmu itu (Koento Wibisono, 1988:7).
Louis 0. Kattsoff (1987 : 192) membagi ontologi dalam tiga bagian: ontologi bersahaja, ontologi kuantitatif dan kualitatif, serta ontologimonistik. Dikatakan ontologi bersahaja sebab segala sesuatu, dipandang dalam keadaan sewajarnya dan apa adanya. Dikatakan ontologi kuantitatif karena dipertanyakan mengenai tunggal atau jamaknya, dan dikatakan ontologi kualitatif juga berangkat dari pertanyaan: apakah yang merupakan jenis kenyataan itu. Sedangkan ontologi monistik adalah jika dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya; keanekaragaman, perbedaan dan perubahan dianggap semu belaka. Pada gilirannya ontologi monistik melahirkan monisme atau idealisme dan materialisme (Hery, 17‑18).
Ada beberapa pertanyaan ontologis yang melahirkan aliran‑aliran dalam filsafat. MisaInya pertanyaan: Apakah yang ada itu? (what is being?), bagaimanakah yang ada itu (how is being?) dan dimanakah yang ada itu? (where is being?).
a. Apakah yang ada itu (what is being ?)
Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir empat aliran filsafat, yaitu: monisme, dualisme, idealisme dan agnotisme.
1. Aliran monisme. Aliran ini berpendapat, bahwa yang ada itu hanya satu. Bagi yang berpendapat bahwa yang ada itu serba spirit, ideal, serba roh, maka dikelompokkan dalam aliran monisme‑idealisme. Plato adalah tokoh filosuf yang bisa dikelompokkan dalam ahliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam. ide merupakan kenyataan yang sebenamya (lihat Kattsoff, 1997:17).
2. Aliran dualisme. Aliran ini menggabungkan antara idealisme dan materialisme dengan mengatakan, bahwa alam wujud ini terdiri dari dua haldkat sebagai sumber, yaitu haldkat materi dan hakikat rohani. Descartes bisa digolongkan dalam aliran ini (Harun Hadiwijono, 1991:49).
3. Aliran pluralisme. Menurut alizan ini, manusia adalah makluk yang tidak hanya terdiri dari jasmani dan rohani, tetapi juga tersusun dari api, tanah dan udara yang merupakan unsur substansial dari segala wujud.
4. Aliran agnotisisme. Aliran ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat materi maupun hakikat rohani. Mereka juga menolak suatu kenyataan yang mutlak yang bersifat transenden (Hasbullah Bakri, 1991:60).
b. Bagaimanakah yang ada itu? (What is being ?)
Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi atau berubah‑ubah? Dalam hal ini Zeno (490430 SM) menyatakan, bahwa sesuatu itu sebenamya khayalan belaka (Kattsoff, 1987:246). Pendapat ini dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitehead, bahwa alam ini dinamis, terus bergerak dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir terus secara kreatif (Iqbal, 1981:35).
c. Dimanakah yang ada itu? (where isbeing ?)
Aliran ini berpendapat, bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adi kodrati, universal, tetap abadi dan abstrak. Sementara aliran materialisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat fisik, kodrati, individual, berubah‑ubah dan riil. Dalam hal ini ‑ Kattsoff memberikan banyak term dasar mengenai bidang ontologi, misaInya: yang ada (being), kenyataan (reality), eksistensi (existence) perubahan (change), tunggal (one), dan jamak (many). Semua istilah tersebut dijabarkan secara rinci oleh Kattsoff (Khat Kattsoff, 1987: 194).
Secara ontologis, ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah‑daerah yang berbeda dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek penelaahan yang berada dalam batas pra‑pengalaman
(seperti pencip taan manusia) dan pasca‑pengalaman (seperti penciptaan surga dan neraka) diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain (agama). Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari seldan banyak pengetahuan yang mencoba menilai kehidupan dalam batas‑batas ontologi tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keihnuan yang bersifat impiris ini adalah merupakan konsistensi pada asas epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses penyusunan pemyataan yang benar secara ilmiah (Jujun, 1986: 3)
Ontologi keilmuan juga merupakan penafsiran tentang haldkat realitas dari objek ontoogis keilmuan, sebagaimana dituturkan di atas. Penafsiran metafisik keihnuan harus didasarkan kepada karakteristik objek ontologis sebagaimana. adanya (dassein) dengan deduksideduksi yang dapat diverifikasi secara fisik. Ini berarti, bahwa secara metafisik ilmu terbebas dari nilai-nilai dogmatis. Suatu pemyataan diterima sebagai premis dalam argumentasi ilmiah hanya setelah melalui pengkajian/penelitian berdasarkan epistemologi keilmuan. Untuk membuktikan kebenaran pemyataan tersebut maka langkah pertama adalah, melakukan penelitian untuk menguji konsekuensi deduktifnya secara empiris, sejalan dengan apa yang dikatakan Einstein: "Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta pula, apapun juga teori yang disusunnya".
Menurut Jujun (1986:4), metafisika keilmuan yang berdasarkan kenyataan sebagaimana adanya (dassein) menyebabkan ilmu. menolak premis moral yang bersifat seharusnya (dassoflen). Ilmu justru merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang mencerminkan dassein agar dapat menjelaskan, meramalkan dan mengontrol fenomena alam. Kecenderungan untuk memaksakan nilai‑nilai moral secara dogmatik ke dalam argumentasi ilmiah menurutnya hanya akan mendorong ilmu. surut ke belakang (set back) ke zaman Pra‑Copemicus dan mengundang kemungkinan berlangsungnya inquisi ala Galileo (1564‑1642 M) pada zaman modern.
1.3.2. Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal‑muasal, metode‑metode dan sahnya ilmu pengetahuan (Kattsoff, 1987: 76). Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang epistemologi:
1.Apakah sumber pengetahuan itu? Dari manakah datangnya pengetahuan yang benar itu? Dan, bagaimana cara mengetahuinya?
2.Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apa ada dunia yang benar‑benar di luar pikiran kita? Dan kalau ada, apakah kita bisa mengetahilinya?
3.Apakah pengetahuan itu benar (valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? (Harold Titus et.al., 1984: 187‑188).
Secara umum pertanyaan‑pertanyaan epistemologis menyangkut dua macam, Yakni epistemologi kefilsafatan yang erat hubungannya dengan psikologi dan pertanyaan‑pertanyaan semantik yang menyangkut hubungan antara pengetahuan dengan objek pengetahuan tersebut (Kattsoff, 1987:76).
Epistemologi meliputi tata cara dan sarana untuk mencapai pengetahuan. Perbedaan mengenai pilihan ontologik akan mengakibatkan perbedaan sarana yang akan digunakan yaitu: akal, pengalaman, budi, intuisi atau sarana. yang lain. Ditunjukkan bagaimana kelebihan dan kelemahan suatu cara pendekatan dan batas‑batas validitas dari suatu yang diperoleh melalui suatu cara pendekatan ih‑niah (Koento Wibisono, 1988: 7).
Pada dasamya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh Pengetahuannya berdasarkan: pertama, kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun; kedua, menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemildran tersebut dan ketiga, melakukan verifikasi terhadap hipotesis tersebut untuk menguji kebenaran peryataannya secara faktual. Secara alkroniin metode ilmiah terkenal sebagai higico‑hypotetico‑verificative atau deducto‑hypotetico‑vezificative (Jujun, 1986:6).
Kerangka pemilkiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam. Verifikasi secara empirik berarti evaluasi secara. objektif dari suatu pemyataan hipotesis terhadap kenyataan faktual. Ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain, selain yang terkandung dalam hipotesis. Demildan juga verifikasi faktual terbuka atas kritik terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuah hipotesis. Berfikir ilmiah berbeda dengan kepercayaan religius yang memang didasarkan atas kepercayaan dan keyakinan, tetapi dalam cara berpikir ilmiah didasarkan atas dasar prosedur ilmiah (Jujun, 1986:6).
Secara garis besar terdapat dua aliran pokok dalam epistemologi yaitu rasionalisme dan empirisme, yang pada gilirannya kemudian muncul beberapa isme lain, misalnya: rasionalisme kritis (kritisisme), (fenomenalisme), intuisionisme, postivisme dan seterusnya.
Rasionalisme adalah suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal.atau ide, sementara peran indera dinomorduakan. Pemikiran para filosuf pada dasarnya tidak lepas dari orientasi ini: rasio dan indera. Dari rasio kemudian melahirkan rasionalisme yang berpijak pada dasar ontologik idealisme atau spiritualisme; dan dari indera lalu melabirkan empirisme yang berpijak pada dasar ontologik materialisme.
Rasionalisme timbul pada masa renaissance yang dipelopori oleh Descartes, seorang berkebangsaan Perancis yang dijuluki sebagai "Bapak filsafat modern” Rasionalisme dikembangkan berdasarkan filsafat “Ide" Plato. Dalam sejarah kefilsafatan, nama Plato (427‑347 S‑M) dan Aristoteles (384‑322 S.M) merupakan prototype cikal bakal pergumulan antara rasionalisme dan empirisme. Plato berpendapat, bahwa hasil pengamatan inderawi tidak memberikan pengetahuan yang kokoh karena. sifatnya yang selalu berubah‑ubah. Menurutnya,ilmu pengetahuan yang bersumber dari panca indera diragukan kebenarannya. Menurut Plato alam ide adalah alam yang sesungguhnya yang bersifat tetap tak berubah-ubah (Harold H. Titus et‑al., 1984:256).
Menurut Plato, manusia lahir sudah membawa ide bawaan yang oleh Descartes (1596‑1650 M) dan para tokoh rasionalis yang lain disebut izmate ideas. Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatunya, dan dari situlah timbul ilmu pengetahuan (Titus et.al., 1984:256).
Menurut rasionalisme Descartes, untuk memperoleh kebenaran harus dimulai dengan meragukan sesuatu. Seorang yang ragu berarti sedang berpikir, yang berarti ada. Statemennya yang popular adalah "aku berpikir, maka aku ada" (cogito ergo sum). Kebenaran adalah apa yang jelas dan terpilah‑pilah (dear and distinctly), artinya bahwa ide‑ide itu seharusnya dapat dibedakan dari gagasan‑gagasan yang lain (Harun Hadiwijono, 1990: 19, 21).
Rasionalisme yang dikembangkan oleh Descartes disamping dapat dukungan dari para pengikutnya, seperti Spinoza dan Leibrjiz tidak luput pula dari tantangan. Tantangan utama adalah datang dari seorang filosuf berkebangsaan Inggris, John Locke (1632‑1704 M) dengan filsafat empirisme‑nya.
Filsafat empirisme kalau dilacak adalah bersumber dari filsafat Axistoteles yang mengatakan, bahwa realitas yang sebenamya adalah terletak pada "bendabenda kongkret" yang dapat diindera, bukan pada ide sebagaimana kata Plato (lihat Bertens, 1984: 153).
Menurut Aristoteles karena realitas adalah bendanya yang konglaet itu sendiri, bukan ide, maka ide tentang benda tidak terdapat dalam kenyataan. Meski demikian Axistoteles juga mengakui adanya "ide", tetapi ide yang terletak pada benda itu sendiri, bukan seperti "ide" Plato yang berada pada rasio.
Menurut Plato, dengan ide terlahir ilmu pengetahuan "yang umum dan tetap". Aristoteles tidak menyangkal dalam hal ini, tetapi sesuatu "yang umum dan tetap" itu tidak berada di dunia "ide" yang tidak kongkret, melainkan berada dalam bendanya yang konglaet itu sendiri. Teori Aristoteles ini disebut dengan teori helemorphisme, materi bentuk. Artinya untuk bisa dikatakan benda, maka harus terdiri dari "materi dan bentuk' (Bertens, 1976: 12‑13).
Berdasarkan teori helemoiphisme Aristoteles, John Locke berpendapat, bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah pengalaman empiris. Menurut Locke, ketika mtinusia dilahirkan didalam akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong yang lebih dikenal dengan teori tabularasa, dan di dalam buku inilah tercatat pengalaman‑pengalaman inderawi. Dia memandang akal sebagai tempat penampungan, yang secara pasif menerima hasilhasil penginderaan tersebut (Kattsoff, 1987: 137).
Kebenaran yang diperoleh empirisme bersifat korespondensi, hasil hubungan antara subjek dan obiek melalui pengalaman, sehingga mudah dibuktikan dan diuji. Kebenaran didapat dari pengalaman melalui proses induktif, dari suatu benda lalu ditarik kesimpulan. Menurut Locke pengalaman ada dua macam: pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batiniah (reflexion) yang keduanya saling jalin‑menjalin, karena menurutnya segala sesuatu yang berada di luar diri kita menimbulkan ide‑ide dalam diri kita (Harun Hadiwijono, 1990: 36).
Filsafat empirisme dikembangkan oleh filosuf-filosuf Inggris: F. Bacon, T. Hobbes, J. Locke, C. Berkeley dan D. Hume (Peurser, 1989: 81). Emperisme Locke juga dikembangkan oleh Comte, seorang Mosuf berkebangsaan Perancis dengan teori Postivisme‑nya. Menurut positivisme, yang ada adalah yang tampak, segala gejala di luar fakta ditolak. Oleh sebab itu metafisika. pun ditolak (Harun, 1990: 32). Beda empirisme dengan positivisme adalah keduanya mengutamakan pengalaman, tetapi positivisme hanya membatasi diri pada. pengalaman objektif, sementara empirisme menenma pengalaman subjektif (batiriiah) (Harun, 1990:109‑110).
Tesis rasionalisme melahirkan antitesis yang berupa empirisme dan dari keduanya pada abad belakangan memunculkan sintesis baru Yang disebut dengan rasionalisme kritis Yang dipelopori oleh Immanuel Kant (1724‑1804), seorang filosuf berkebangsaan Jerman.
Rasionalisme kritis memang tepat ketika mengatakan, bahwa rasionalitas suatu ilmu tidak pemah secara berat sebelah dapat dicari pada kekuatan nalar ilmiah sendiri, melainkan justru pada keterbukaan terhadap realitas empiris (Peursen, 1989 : 86). Kant membedakan empat macam pengetahuan: pengetahuan analitis a priori, sintesis apriori, analitis aposteriori, sintesis aposteriori. Pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalaman, atau yang ada sebelum pengalaman. Pengetahuan aposteriori adalah terjadi sebagai akibat pengalaman. Pengetahuan analitis apriori adalah pengetahuan yang dihasilkan oleh analisis-analisis terhadap unsur‑unsur apriori dan pengetahuan sintesis apriori dihasilkan oleh akal terhadap bentuk-bentuk pengalaman sendiri dan penggabungan unsurunsur yang tidak saling bertumpu. Pengetahuan analitis a posteriori dan analisisnya diperoleh setelah ada pengalaman (Kattsoff, 1987:143‑144). Berbeda dengan Para ahli yang lain, Kattsoff mengatagorikan filsafat Kant sebagai filsafat fenomenalisme, bukan rasionalisme laitis (Bandingkan dengan Harun Hadiwijono, 1990: 65).
Di samping itu muncul pula aliran intidsioriisme yang dipelopori oleh seorang filosuf Perancis modern, Henry Bergson. ‑ Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Sebagaimana kata Kattsoff (1987: 146), bahwa salah satu unsur yang berharga dalam intuisionisme (Bergson) adalah kemungkinan suatu bentuk pengalaman (intuisi) di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Setidaknya dalam beberapa hal, intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi, ia hanya mengatakan, bahwa pengetahuan Yang lengkap adalah pengetahuan Yang diperoleh melalui intuisi (Kattsoff, 1987: 147).
Kembah kepada pertanyaan epistemologi, apakah kebenaran itu? Dalam hal ini Jujun (dalam A.M. Saifuddin et.al., 1991: 16‑17) menuturkan, bahwa ilmu dalam upaya untuk menemukan kebenaran mendasarkan dirinya kepada beberapa kriteria keben.aran: yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatisme. Koherensi merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria kebenaran tentang konsistensi suatu argumentasi. Sekiran ya terdapat konsistensi dalam alur berpikir, maka kesimpulan Yang ditariknya adalah benar, sebahlmya jika terdapat argumentasi Yang bersifat tidak konsisten, maka kesimpulan Yang ditariknya adalah salah. Landasan koherensi inilah yang dipakai sebagai dasar kegiatan keilmuan untuk menyusun pengetahuan yang bersifat sistematis dan konsisten.
Koresponden merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri pada kriteria tentang kesesuaian antar materi yang dikandung oleh suatu pemyataan dengan objek yang dikenai pemyataan tersebut. Jika kita menyatakan "gula itu rasanya manis", maka pernyataan itu benar seldranya dalam kenyataannya gula itu rasanya memang manis. Sebahknya, jika kenyataannya gula itu rasanya tawar, maka pemyataan itu salah. Jadi, kebenaran harus sesuai dengan kenyataan setelah dibuktikan (verifikasi).
Pragmatisme merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang berfungsi atau tidaknya suatu pemyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu.
Jadi, bila suatu teori keilmuan secara fungsional mampu menjelaskan, meramalkan dan mengontrol suatu gejala alam tertentu, maka secara pragmatis teori tersebut benar, dan sekiranya dalam kurun waktu yang berlainan muncul teori lain yang lebih fungsional, maka kebenaran itu teralihkan kepada teori baru tersebut. Dengan demikian, secara pragmatis, dunia keilmuan memberikan preferensi kepada teori yang bersifat lebih meyakinkan dan lebih bersifat umum (universal) dibandingkan dengan teori‑teori sebelumnya.
Penganut positivisme ilmu pengetahuan hanya mengakui satu kebenaran, yaitu kebenaran inderawi, yang teramati dan yang terukur, yang dapat diulangbuktikan oleh siapa pun. Di luar itu tidak diakui sebagai kebenaran. Sementara rasionalisme hanya mengakui kebenaran etik (Noeng Muhadjir, 1990:214).
1.3.3. Aksiologi
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi nilai‑nilai, parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu, sebagaimana kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik matedil dan kawasan simbolik yang masing‑masing menunjukkan aspeknya sendiri‑sendiri. Lebih dari itu, aksiologi juga menunjukkan kaidah‑kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu ke dalam praksis (Van Melsen, 1990: 107).
Pertanyaan mengenai aksiologi menurut Kattsoff (1987:331) dapat dijawab melalui tiga cara: Pertama ' nilai sepenuhnya berhakekat subjektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai‑nilai itu merupakan reaksi‑reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung kepada pengalaman‑pengalaman mereka; kedua, nilai‑nilai merupakan kenyataan‑kenyataan ditinjau dari segi ontologis namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai‑nilai tersebut merupakan esensi‑esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Pendirian ini dinamakan objektivisme logis; ketiga, nilai‑nilai merupakan unsur‑unsur objektif yang menyusun kenyataan, yang demikian ini disebut objektivisme metafisik.
Dalam pendekatan aksiologis ini, Jujun (1986: 6) menyebutkan, bahwa pada dasamya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini maka ilmu menurutnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti, bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya sesuai dengan komunalisme. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi paroldal seperti: ras, ideologi atau agama. Tidak ada ilmu Barat dan tidak ada pula ilmu Timur.
BAB II
ILMU DALAM PERSPEKTIF
2.1. Fakta
Fakta hanya dapat didefinisikan secara luas. Segala sesuatu yang berada di dunia bisa disebut fakta, contoh matahari adalah suatu fakta, jika kita sakit gigi, maka itu juga bisa disebut sebagai suatu fakta, jika membuat suatu penyataan, maka perbuatan itulah yang disebut suatu fakta.
Fakta adalah apa yang membuat pemyataan itu benar atau salah. Fakta adalah sesuatu yang ada, apakah tiap orang berfikir demikian atau tidak. Ketika kita memperlihatkan jadual, pemyataan dalam jadual itu sendiri adalah suatu fakta apakah itu benar atau salah, tetapi ia hanya menyatakan suatu fakta bila benar.
Seluruh kehidupan kognitif kita, ditinjau dari sudut biologis, merupakan bagian dari proses penyesuaian terhadap fakta-fakta.
2.2. Kepercayaan
Kepercayaan yang akan kita kaji, memiliki pengertian samar , yang disebabkan oleh perkembangan mental yang terus menerus.
Kepercayaan diperlihatkan dengan semacam pemyataan dalam kalimat/kata-kata, yang pada akhimya kata-kata yang meluncur itu bukan sebagai suatu kepercayaan melainkan sebagai cara untuk menaruh kepercayaan itu dalam bentuk prilaku yang dapat dikomunikasikan kepada orang lain.
Kepercayaan yang lebih sederhana, khususnya jika kepercayaan itu menjadi dasar untuk tindakan, mngkin seluruhnya tanpa kata-kata, misalnya jika kita bepergian sendiri, ketika akan tertinggal sebuah kereta, maka akan segara berlari tanpa sepatah katapun melintas di kepala.
Satu karakteristik dari suatu kepercayaan adalah bahwa ia memiliki pertalian dengan dunia luar. Kasus paling sederhana, yang dapat diambil dalam perilaku, dimana karena refleks yang telah terbiasa, adalah hadirnya A menyebabkan timbulnya B.
Suatu kepercayaan, sebagai sekumpulan keadaan suatu organisme yang terikat bersama karena memperoleh pertalian dengan dunia luar, sebagian atau seluruhnya.
Pertama; Jenis kepercayaan yang mengisi sensasi yang disimpulkan oleh binatang, kedua ; ingatan, ketiga; harapan, keempat; jenis kepercayaan yang diwariskan dan diterima tanpa berfikir lebih lanjut; dan kelima; jenis kepercayaan sebagai hasil penarikan kesimpulan secara sadar.
2.3. Kebenaran
Kebenaran adalah suatu sifat dari kepercayaan dan diturunkan dari kalimat yang menyatakan kepercayaan tersebut
Kebenaran merupakan suatu hubungan tertntu antara suatu kepercayaan dengan suatu fakta atau lebih diluar kepercayaan. Bila hubungan ini tidak ada,maka kepercayaan itu adalah salah.
Setiap kepercayaan yang tidak semata-mata merupakan dorongan untuk bertindak pada hakekatnya merupakan gambaran, digabung dengan suatu perasaan yang mengiakan atau menidakkan;dimana dalam perasaan yang mengiakan hal ini adalah benar bila terdapat fakta yang menggambarkan kesamaan dengan yang diberikan sebuah prototipe terhadap bayangan, sedangkan dalam sebuah perasaan yang menidakkan, ia adalah benar bila tidak terdapat fakta seperti itu. Suatu kepercayaan yang tidak benar disebut salah.
2.4. Pengetahuan
Pengetahuan adalah suatu subkelas dari kepercayaan yang benar: setiap hal mengenai pengetahuan merupakan hal mengenai kepercayaan yang benar tetapi tidak sebaliknya.
Sifat yang harus dimiliki suatu kepercayaan agar tergolong sebagai pengetahuan ? Haruslah terdapat bukti-buktiyang masuk akal untuk menyokong kepercayaan.
Secara umum terdapat tiga cara untuk mendefinisikan pengetahuan, yang pertama; menitikberatkan pada konsep tentang bukti yang pasti (self-evident), yang kedua adalah dengan cara melenyapkan perbedaan antara premise dari kesimpulan dan menyatakan bahwa pengetahuan merupakan kepercayaan yang seluruhnya bersifat koheren., yang ketiga; untuk meninggalkan konsep tentang pengetahuan dan menggantikannya dengan kepercayaan-kepercayaan nyang mendorong sukses dan sukses dapat ditafsirkan secara biologis.
2.5. Teori Ilmu
Manusia purba telah menemukan beberapa hubungan yjang bersifat empiris yang memungkinkan untuk mengerti dunia, diantaranya :
· Bangsa Mesir, dimana banjir Sungai Nil ikut menyebabkan berkembangnya sistem almanak, geometri dan Bangsa kegiatan survey.
· Bangsa Babylonia dan Hindu.
· Bangsa Yunani yang menyumbangkan perkembangan ilmu dan astronomi, kedokteran dan sistem klasifikasi Aristoteles, juga silogisme yang menjadi dasar penjabaran secara deduktif pengalaman-pengalaman manusia. Bangsa Yunani dianggap sebagai perintis di dalam mendekati perkembangan ilmu secara sistematis, walaupun terlepas dari tendensi mereka untuk menitikberatkan teori dan sering melupakan pengalaman empiris dan kurang memperhatikan percobaan sebagai sumber bukti-bukti keilmuan.
2.5.1. Bacon dan Teori Induktif
Francis Bacon memimpin suatu pemberontakkan terhadap cara berfikir diatas, yang mana terdapat tendensi diantara para ahli filsafat untuk mula-mula setuju pada suatu kesimpulan dan baru dimulai usaha untuk mengumpulkan berbagai fakta yang mendukung kesimpulan. Bacon merasa yakin bahwa logika tidaklah cukup untuk menemukan kebenaran, karena “kepelikan alam jauh lebih besar daripada kepelikan argumen”.
Metode Bacon dianggap memboroskan waktu dan tidak efektif, karena jika pemikiran deduktif yang penggunaannya secara berlebihan menyebabkan dunia keilmuan mengalami kemacetan.
2.5.2. Pendekatan Induktif-Deduktif modern
Charles Darwin dianggap sebagai pelopor, dimana menggabungkan deduksi Aristoteles dengan metode , dimana artinya seorang mempergunakan metode induksi dalam menghubungkan antara pengamatan dengan hipotesis. Kemudian secara deduktif hipotesis ini dihubungkan dengan pengetahuan yang ada untuk melihat kecocokan dan implikasi.
2.6. Perkembangan Ilmu
2.6.1. Animisme
Mengerti segenap gejala yang ditemui dalam kehidupan untuk menghadapi masalah-masalah yang ditimbulkannya. Manusia primitif, ketika mendengar petir dan melihat kilat diikuti degan hujan dan banjir, merenung bingung kapan dan apa yang sebenamya terjadi.
Antropologi dan sejarah menunjukkan bahwa manusia pertama kali menerangkan gejala-gejala seperti itu pada perbuatan dewa-dewa hantu, setan dan berbagai makhluk halus. Mitologi kuno penuh dengan bermacam dewa dan dewi yang memainkan peranan yang penting dalam kehidupan manusia primitif.
Bangsa Indian, menghubungkan sakit, kelaparan dan berbagai bencana dengan makhluk-makhluk halus yang sedang perang.
2.6.2. Ilmu Empirisme
Lambat laun manusia menyadari bahwa gejala alam dapat diterangkan sebab musabab alam-suatu langkah yang paling penting yang menandai permulaan ilmu sebagai suatu pendekatan sistematis dalam pemecahan masalah.
Perkembangan ini dibagi kedalam dua tahap perkembangan yang saling bertautan;(1) tingkat empiris, dimana ilmu terdiri dari hubungan empiris yang ditemukandalam berbagai gejala dalam bentuk-bentuk “X menyebabkan Y” tanpa mengetahui mengapa hal ini terjadi. dan (2) tingkat penjelasan (teoritis), yang mengembangkan suatustruktur teoritis yang tidak hanya menerangkan hubungan empiris yang terpisah-pisah, manin juga mengintegrasikannya menjadi suatu pola yang berarti.
a. Pengalaman.
Ilmu dimulai dengan suatu observasi, dimana kemudian ditambahkan observasi-observasi, sampai suatu kesamaan atau perbedaan yang dicapai. Dalam tahap permulaan, ilmu harus berurusan dengan penambahan dan kritik terhadap pengalaman
b. Klasifikasi
Prosedur yang paling dasar untuk mengubah data terpisah menjadi dasar yang fungsional, suatu prosedur yang pokok bagi semua penelitian karena hal ini merupakan cara yang sederhana dan cermat dalam memahami sejumlah besar data. Klasifikasi harus didasarkan pada suatu tujuan tertentu. Kesukaran timbul karena kebaanyakkan obyek dan gejala mempunyai sifat serta ciri yang banyak, jadi gejala bisa diklasifikasikan dengan berbagai cara.
c. Kuantifikasi.
Tahap yang pertama dalam perkembangan ilmu adalah pengumpulan dan penjelasan pengalaman, dimana kemudian menyebabkan adanya kebutuhan untuk mengkuantifikasikan observasi tersebut, meskipun observasi kualitatif sudah memuaskan dalam tahap-tahap permulaan ilmu, namun hanya kuantifikasi yang dapat memberikan ketelitian yang diperlukan bagi klasifikasi dalam ilmu yang lebih matang.
d. Penemuan Hubungan-hubungan
Lewat berbagai klasifikasi yang berbeda-beda, sering terjadi bahwa kita melihat adanya hubungan fungsional tertentu antara aspek-aspek komponennya. banyak hubungan yang ditemukan merupakan sesuatu yang lebih dari hubungan yang didasarkan pada kenyataan bahwa gejala tersebut muncul secara bersamaan.
e. Perkiraan Kebenaran
Ilmuwan pada umumnya menaruh perhatian kepada hubungan yang lebih fundamental daripada hubungan yang hanya tampak pada kulitnya. Suatu peristiwa sering terjadi demikian rumitnya sehingga hubungan-hubungan yang tampak menjadi kabur. Disini terlihat dua langkah fundamental dalam perkembangan ilmu : proses perkiraan kebenaran yang terus menerus dan proses pendefinisian kembali masalah ditinjau dari keberhasilan atau kegagaln perkiraan tersebut
2.6.3. Ilmu Teoritisme
Tingkat yang paling akhir dari ilmu adalah teoritis, dimana hubungan dan gejala yang ditemukan diterangkan dengan dasar suatu kerangka pemikiran tentang sabab musabab sebagai langkah untuk meramalkan dan menentukan cara untuk mengontrol kegiatan agar hasil yang diharapkan dapat tercapai.
Kelebihan tingkat ilmu ini mudah dilihat dengan memperlihatkan keterbatasannnya, karena ilmu empiris ini tidak mudah dipergunakan karena berurusan dengan gejala yang terpisah-pisah, sehingga sukar untuk memahami tiap-tiap gejala itu.
2.7. Metode dalam Mencari Ilmu Pengetahuan
2.7.1. Rasionalisme
Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui idea (yang menurut anggapannya adalah tegas, jelas dan pasti), namun manusia tidak menciptakannya atau tidak mempelajari lewat pengalaman. Ide tersebut sudah ada sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia. Kaum rasionalis berdalil bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip, maka prinsip itu harus ada artinya harus benar dan nyata, jika prinsip tersebut tidak ada maka orang tidak mungkin dapat menggambarkannya.
Geometri (ilmu ukur) adalah salah satu contoh kaum rasional, mereka berdalih bahwa aksioma dasar geometri idea yang jelas dan tegas yang dapat diketahui oleh manusia.
Ada beberapa kritik yang ditujukan kepada rasionalisme, yaitu:
1. Pengetahuan rasional dibentuk oleh idea yang tidak dapat dilihat maupun diraba.
2. Banyak diantara manusia yang berfikiran jauhbahwa mereka menemukan kesukaran yang besar dalam menerapkan konsep rasional kepada masalah kehidupan yang praktis.
3. Teori rasional gagal dalam menjelaskan perubahan dan penambahan pengetahuan manusia selama ini. Banyak idea yang sudah pasti berubah.
2.7.2. Empirisme
Usaha manusia untuk mencari pengetahuan yang mutlak sifatnya terus menerus walaupun terdapat tradisi epistimologi yang mendasarkan diri pada pengalaman manusia dan meninggalkan cita-cita untuk mencari pengetahuan yang mutlak itu. Doktrin empiris yang cocok, dimana kaum empiris berdalil bahwa tidak beralasan untuk mencari pengetahuan mutlak dan mencakup semua segi, apalagi didekat kita terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia.
Ada beberapa kritik yang ditujukan kepada empirisme, yakni:
1. Empirisme didasarkan pada pengalaman
2. Sebuah teori yang sangat menitik beratkan pada persepsi pancaindera yang mana ken atannya bahwa pancaindera tersebut terbatas dan tidak sempuma.
3. Empirisme tidak memberikan kepada kita kepastian.
2.7.3. Kombinasi antara Rasionalisme dan Empirisme
1. Kesadaran dan Perumusan Masalah
Dunia ilmuwan terdiri dari fakta dan kejadian yang terpisah-pisah dan banyak. Ketika manusia menemukan kesulitan secara berakal, maka pemikiran akan mulai terbentuk. Atau manusia menciptakan masalah dan menjawabnya dengan menekankan kepada pemyataan yang jelas dan tepat dari sebuah masalah.
2. Pengamatan dan Pengumpulan Data
Banyaknya keilmuan yang diarahkan pad apengumpulan data, maka banyak orang yang menyamakan keilmuan dengan pengumpulan data.
3. Penyusunan dan Klasifikasi Data
Menekankan pada penyusunan fakta dalam kelompok-kelompok, jenis-jenis dan kelas-kelas. Usaha untuk mengidentifikasi, menganalisis, membandingkan dan membedakan fakta-fakta yang relevan tergantung pada sistem klasifikasi yang disebut taxonomi.
4. Perumusan Hipotesis
Hipotesis adalah pemyataan sementara tentang hubungan antara benda-benda. Hubungan ini diajukan dalam bentuk dugaan kerja atau teori yang merupakan dasar dalam menjelaskan kemungkinan hubungan tersebut.
Deduksi dari Hipotesis
Hipotesis menyusun pemyataan logis yang menjadi dasar untuk penarikan kesimpulan atau deduksi mengenai hubungan antara benda-benda tertentu yang diselidiki. disamping itu juga hipotesis dapat menolong kita dalam memberikan ramalan dan menemukan fakta baru.
5. Tes dan Pengujian Kebenaran (Verifikasi) Hipotesis
Pengujian kebenaran dalam ilmu berarti mengetes altematif-altematif hipotesis dengan pengamatan kenyataan yang sebenamya atau lewat percobaan. Dalam hubungan ini maka keputusan terakhir terletak pada fakta.
BAB III
SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA
3.1. Teori-teori Tentang Asal Muasal Bahasa
BAB IV
Filsafat Analitik dan Filsafat Hermeneutik
4.1. Filsafat Analitik: Positivisme dan Bahasa sehari-hari
Ada perbedaan dua gerakan yang berlawanan yang mendominasi filsafat Barat selama sebagian besar dari abad keduapuluh: analisis linguistik dan eksistensialisme. Kebanyakan versi analisis linguistik menekankan pentingnya analisis, dan kebanyakan versi eksistensialisme, sintesis, hampir mengabaikan atau bahkan secara terang-terangan menolak makna penting kecenderungan lawanannya. Sekalipun begitu, seperti yang telah kita duga, dengan adanya pertalian komplementer antara analisis dan sintesis, setiap kecenderungan tersebut saling bergantung demi melanjutkan keberadaan masing-masing, karena merupakan kutub-kutub yang komplementer pada sebuah gerakan. Oleh sebab itu, mestinya tidaklah sampai mengejutkan [tatkala] kita dapati bahwa, menjelang akhir abad itu, kedua kecenderungan tersebut mulai sama-sama gugur, dan diganti secara bertahap oleh cara pikir lain, yakni, yang terpenting, filsafat hermeneutik. Menariknya, tiga pendekatan utama terhadap filsafat itu semuanya menekankan tema umum: sentralitas bahasa pada pencarian filosofis. Pada bagian ini kita hendak membahas anasir utama gerakan filosofis yang mendominasi filsafat yang berbahasa-tutur Inggris sepanjang abad yang lalu, yang dikenal sebagai “analisis linguistik”. Jalan filosofis ini juga disebut dengan nama-nama seperti “filsafat analitik”, “filsafat linguistik”, atau “filsafat bahasa”, bergantung pada preferensi Filosof yang bersangkutan. Namun pada umumnya kita dapat memerikan pendekatan ini sebagai sesuatu yang menganggap analisis bahasa sebagai tugas mendasar Filosof. Cara yang cermat tentang bagaimana bahasa mestinya dianalisis, definisi yang tepat tentang apakah analisis itu, dan juga pembatasan yang pas tentang apa yang terhitung sebagai bahasa, semuanya merupakan persoalan yang diperdebatkan secara terbuka di kalangan anggota-anggota aliran ini. Namun di tengah semua perbedaan mereka, para analis linguistik disatukan oleh keyakinan bersama mereka bahwa persoalan filosofis harus didekati mula-mula dan terutama (jika bukan hanya) dari sudut pandang yang akar-akarnya pada bahasa manusia. Sebagiannya percaya bahwa dalam memegang keyakinan ini mereka merupakan pewaris sejati atas gagasan keterbatasan pengetahuan [yang dicanangkan oleh Kant] sampai pada pengertian bahwa gagasan “peralihan transendental” dalam berfilsafat dikira, oleh banyak Filosof saat ini, identik dengan “peralihan linguistik”.
Akar-akar analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh seorang matematikawan bernama Gottlob Frege (1848-1925). Frege memulai sebuah revolusi logika (analitik), yang implikasinya masih dalam proses penanganan oleh Filosof-Filosof kontemporer. Ia menganggap bahwa logika sebetulnya bisa direduksi ke dalam matematika, dan yakin bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah deduktif yang diungkapkan dengan gamblang. Yang lebih penting, ia percaya logika mampu mengerjakan tugas-tugas jauh melampaui apa saja yang dibayangkan oleh Aristoteles, asalkan para logikawan bisa mengembangkan cara pengungkapan makna linguistik seluruhnya dengan simbol-simbol logika. Salah satu idenya yang paling berpengaruh adalah membuat perbedaan antara “arti” (sense) proposisi dan “acuan” (reference)-nya, dengan mengetengahkan bahwa proposisi memiliki makna hanya apabila mempunyai arti dan sekaligus acuan. (Ide ini mengandung kemiripan yang menonjol, secara kebetulan, dengan peryataan Kant bahwa pengetahuan hanya muncul melalui sintesis antara konsep dan intuisi.) Frege juga menyusun notasi baru yang memungkinkan terekspresikannya “penentu kuantitas” (kata-kata seperti “semua”, “beberapa”, dan sebagainya) dalam bentuk simbol-simbol. Ia berharap para Filosof bisa menggunakan notasi ini untuk menyempurnakan bentuk logis argumen mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk jauh lebih dekat, daripada waktu-waktu sebelumnya, dengan ide pembuatan filsafat menjadi ilmu yang ketat.
Salah seorang Filosof pertama yang mengakui teramat pentingnya temuan baru Frege dalam logika ialah Bertrand Russel (1872-1970)—barangkali dialah Filosof Inggris yang paling terkenal di abad keduapuluh. Russel, bersama-sama dengan A.N. Whitehead, menerapkan banyak wawasan Frege dalam menulis buku yang tentu merupakan tulisan terpenting filsafat abad keduapuluh, yang sekurang-kurangnya masih dibaca, Principia Mathematica. Russel mengembangkan banyak ide yang menarik dan berpengaruh pada aneka-macam pokok bahasan selama karir panjangnya. Sayangnya, pada sejumlah kesempatan ia mengubah pandangannya, dengan mengajukan teks yang melawan pandangannya sendiri yang ia bela di tulisan-tulisan terdahulu. Lantaran ia tidak pernah menyusun sebuah sistem filsafat yang taat-asas, aneka-macam idenya itu terlalu sulit untuk diperiksa di sini. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan seorang rekan Russel yang lebih muda, yang memulai karir filsafatnya sebagai murid Russel. Filosof yang berbahasa-tutur Jerman ini, setelah menempuh studi teknik selama beberapa tahun di Manchester, mengirim esai kepada Russel di Cambridge, memberitahu dia bahwa ia ingin mengkaji filsafat di bawah bimbingan Russel—kalau tidak, ia akan menuntut ilmu lebih lanjut di bidang ilmu penerbangan. Untungnya, bagi dunia filsafat, Russel mengundang pemuda ini untuk menjadi mahasiswanya di Cambridge.
Jika Frege dapat dipandang selaku “bapak” analisis linguistik, maka “putra” terbesarnya, tak pelak lagi, ialah Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Tak lama sesudah datang ke Cambridge, Wittgenstein terjun sendiri, menjadi salah seorang dari dua atau tiga orang Filosof abad keduapuluh yang paling berpengaruh. Sebagian besar dari pengaruhnya menyebar melalui kuliah-kuliah dan les-lesnya, dan melalui murid-muridnya dan melalui Filosof-Filosof lain yang ikut dalam diskusi-diskusi ini dengannya. Wittgenstein sendiri hanya menerbitkan sebuah buku selama hayatnya, yang ia tulis semasa ia masih muda. Akan tetapi, ketika ia meninggal, ia meninggalkan naskah bukunya yang kedua, yang akhirnya diterbitkan pada dua tahun selepas kematiannya. Tiap buku itu meletakkan pondasi bagi versi utama analisis linguistik yang baru. Untuk waktu yang masih tersedia pada jam kuliah ini, mari kita perhatikan dua arah umum ini berturut-turut.
Buku Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus (1921), sampai diperlakukan sebagai manifesto bagi salah satu versi analisis linguistik yang terawal: “positivisme logis”. Buku ini berawal dengan penetapan batas-batas dunia linguistik dengan menggunakan serangkaian proposisi yang mendasar berikut ini:
1. Alam adalah semua yang nyata.
1.1. Alam adalah totalitas fakta, bukan benda.
1.1.1. Alam ditentukan oleh fakta-fakta, dan oleh keberadaan semua fakta.
1.1.2. Karena totalitas fakta menentukan apa yang nyata, dan juga apa saja yang tidak nyata.
1.1.3. Fakta-fakta di bidang logika adalah alam.
1.2. Alam ini terbagi menjadi fakta-fakta.
1.2.1. Setiap benda dapat nyata atau tidak nyata sedangkan segala sesuatu lainnya tetap sama.
Di keseluruhan buku ini (Wittgenstein), mengikuti bentuk matematis yang seketat pasal pendahuluan ini, dengan menomori setiap paragraf berikutnya dengan urutan yang hierarkis. Bentuk logis ini mencerminkan tujuan lengkap buku tersebut: menyusun serangkaian proposisi analitik yang bisa dimanfaatkan sebagai kerangka pemahaman semua “fakta” (yakni proposisi maknawi) mengenai alam. Fokus analitik perhatian Wittgenstein adalah bukti nyata tatkala, untuk contoh, ia menyatakan bahwa masing-masing dari fakta-fakta ini “dapat nyata” (can be the case) (+) “atau tidak nyata” (or not the case) (-).
Setelah menetapkan garis tapal batas yang tajam antara apa yang terhitung sebagai “alam” (the world) dan apa yang tidak—yakni antara “fakta” dan “benda”—Wittgenstein menuturkan jaring rumit proposisi-proposisi logis di bukunya. Proposisi-proposisi ini diharapkan mengokohkan kerangka filosofis demi pemahaman segala fakta yang sah bahwa “alam” (yaitu himpunan semua proposisi maknawi) memperkenalkan diri kepada kita. Ia kemudian menyimpulkan dengan pasal yang laik untuk dikutip dengan panjang:
“Sungguh, ada hal-hal yang tidak bisa dituangkan dalam kata-kata. Hal-hal tersebut maujud dengan sendirinya. Hal-hal tersebut adalah yang mistis”.
“Metode filsafat yang benar pada hakikatnya sebagai berikut: tidak berkata apa-apa kecuali apa yang bisa dikatakan, yaitu proposisi-proposisi ilmu alamiah—yakni sesuatu yang tidak berkaitan dengan filsafat—dan lantas, memperlihatkan kepada siapa saja yang mengatakan sesuatu yang metafisis bahwa ia gagal memberi makna pada isyarat-isyarat yang pasti dalam proposisi-proposisinya. Walaupun ini tidak memuaskan orang lain tersebut—ia tidak merasa bahwa kita mengajari dia filsafat—metode ini satu-satunya metode yang benar semata-mata.
“Proposisi-proposisi saya berfungsi sebagai penjelasan dengan cara berikut ini: siapa saja yang memahami saya akhirnya mengakui proposisi-proposisi saya non-akliah (nonsensical), bila ia menggunakannya—sebagai langkah-langkah—untuk memanjat melampauinya. (Jadi, untuk membicarakannya, ia harus melempar jauh-jauh tangganya sesudah ia memanjatinya.) Ia harus melampaui proposisi-proposisi ini, dan kemudian ia akan melihat alam dengan benar”.
“Hal-hal yang tidak bisa kita bicarakan itu harus kita lewati dengan keheningan”.
Para filosof analitik telah berdebat dengan lama dan keras mengenai interpretasi yang tepat atas teka-teki di bagian akhir yang mengejutkan pada Tractatus Wittgenstein. Namun jika kita cermati perbedaan antara logika analitik dan logika sintetik, maka makna klaim-klaim tadi cukup jelas. Dengan menghubungkan pembedaan antara “fakta” dan “benda” dengan pembedaan antara logika analitik dan logika sintetik.
Pandangan Wittgenstein bahwa filsafat apa pun berdasar pada pondasi logika analitik yang ketat belaka pasti membatasi ruang lingkup penyelidikannya pada pertanyaan-pertanyaan yang timbul di dalam “alam fakta” yang dihasilkan, meskipun ini mensyaratkan kita untuk memperlakukan banyak pertanyaan filosofis tradisional sebagai seakan-akan tidak ada. Ia mengakui dengan cukup tepat bahwa alam metafisis ini (yaitu alam “hal-hal” di luar logika analitik) adalah alam mistis; logika sintetik selalu menjadi alat mistis favorit. Akan tetapi, lantaran keyakinan kukuhnya akan kesahihan logika analitik yang universal dan eksklusif, Wittgenstein terpaksa menyimpulkan bahwa tanggapan yang tepat terhadap alam mistis itu tetap hening. Jika kata-katanya benar bahwa “hal-hal” semacam itu bukan bagian yang tepat dari tugas Filosof,
Keheningan, sebagaimana yang hendak kita bahas, pada aktualnya merupakan cara tanggap yang amat tepat terhadap pengalaman mistis. Namun demikian, sebagai binatang yang menggunakan kata-kata, kita manusia tentu mencoba memaparkan pengalaman semacam itu dengan kata-kata. Wittgenstein memerikan upaya ini tatkala ia mengacu pada orang-orang yang memanfaatkan proposisi analitik sebagai “tangga” (ladder) dengan harapan memanjat melampaui fakta-fakta menuju pemahaman hal-hal secara langsung. Ia memang benar kalau ia bermaksud untuk mengatakan bahwa dalam kasus-kasus semacam itu logika analitik berputar haluan menjadi “non-akliah”; secara demikian, nasihatnya, cukup tepatlah bahwa seorang manusia harus “melempar jauh-jauh tangganya sesudah ia memanjatinya”. Ia juga benar sepenuhnya dengan bersikeras bahwa kita harus “melampaui proposisi-proposisi ini” supaya “melihat alam dengan benar”; para mistikus jauh lebih tertarik pada pengubahan cara pandang kita terhadap alam daripada cara papar kita terhadapnya. Akan tetapi, yang alpa untuk dipertimbangkan oleh Wittgenstein adalah bahwa alam visi itu mungkin memiliki jenis logikanya sendiri, sehingga kata-kata lain yang tidak masuk akal (nonsense) akhirnya bisa masuk akal (make sense): proposisi-proposisi yang menggunakan logika sintetik itu masuk akal karena membuka mata kita lebar-lebar dalam memandang alam dengan cara baru!
Sayangnya, Filosof-Filosof terawal yang mengikuti petunjuk Wittgenstein tidak tertarik pada perambahan implikasi dari acuan-acuan misterius pada “hal-hal” yang agak “maujud dengan sendirinya”. Acuan-acuan itu tenggelam oleh pandangannya tentang pembangunan pondasi analitik yang akan memungkinkan filsafat untuk menjadi bentul-betul ilmiah untuk pertama kalinya. Pengikutnya yang paling berpengaruh ialah A.J. Ayer (1910-1989), yang pada usia 26 menulis buku, Language, Truth, and Logic, yang mempopulerkan interpretasi positivis terhadap ide-ide Wittgenstein. Jauh dari membiarkan terbukanya ruang untuk apresiasi yang hening terhadap “hal-hal yang mistis”, Ayer mengemukakan bahwa karakter non-akliah pengalaman mistis, bersama-sama dengan semua ide metafisis, seharusnya menyebabkan kita membuang itu semua lantaran tidak berguna sama sekali. Jadi, di dekat awal bab pertamanya, yakni “The Elimination of Metaphysics”, ia menulis:
For we shall maintain that no statement which refers to a "reality" transcending the limits of all possible sense-perception can possibly have any literal significance; from which it must follow that the labours of those who have striven to describe such a reality have all been devoted to the production of nonsense. (LTL 34)
([Ini] karena kita hendak mempertahankan bahwa tidak ada pertanyaan yang mengacu pada “realitas” yang melampaui batas-batas semua kemungkinan pencerapan-inderawi yang barangkali bisa memiliki kebermaknaan harfiah apa saja; dari situ harus dituruti bahwa para pelaku yang telah berjuang untuk memaparkan realitas semacam itu telah tercurah semuanya pada pembuatan hal-hal yang non-akliah.) (LTL 34)
Pisau Ayer yang dipakai untuk memangkas semua ilusi semacam itu muncul dalam bentuk sesuatu yang ia sebut prinsip “verifikasi”. Ia memaparkan prinsip ini dalam bentuk pertanyaan yang menurut dia seharusnya kita kemukakan tentang proposisi apa saja yang diajukan sebagai kemungkinan “fakta” alam: “Apakah observasi apa pun relevan dengan penentuan benar-salahnya?” (LTL 38). Jika jawabannya “Tidak”, maka, dalam pikiran Ayer, tidak ada jalan untuk memverifikasi kebenaran atau kesalahan proposisi yang dibicarakan; dan dalam segala situasi semacam itu, proposisi tersebut sungguh kurang bermakna. Jadi, jika kita mencoba membela kebenaran proposisi semacam “Tuhan berada”, Ayer mensyaratkan kita untuk memerikan situasi empiris potensial tertentu yang menyebabkan kita membuang keyakinan kepada Tuhan. Contohnya, jika kita katakan kita akan membuang keyakinan kepada Tuhan jika ibu kita wafat secara tragis, maka Ayer mengakui bahwa keyakinan kita sebagian mengandung isi yang maknawi; namun ini pun terutama merupakan keyakinan tentang ibu kita, bukan keyakinan tentang Tuhan. Orang yang mengklaim mempunyai keimanan yang tak tergoyahkan hanya akan dianggap meyakini omong kosong melompong. Ayer menyatakan hal ini dalam bagian berikutnya di bukunya, dengan menerapkan pisau verifikasi untuk memangkas sebagian besar dari hal-hal yang secara tradisional dianggap sebagai bidang penyelidikan filosofis terpenting. Bukan hanya proposisi-proposisi semacam itu, melainkan juga kebanyakan proposisi nilai-nilai moral, religius, dan estetik yang paling dekat dan paling berharga pun dijelaskan secara demikian, paling-paling sebagai sekadar ungkapan keadaan perasaan orang (dan karenanya, dianggap tidak rasional).
Akan tetapi, ada masalah yang serius mengenai program Ayer, umpamanya upaya untuk menegakkan seperangkat batas-batas yang disebut “positif” terhadap penyelidikan filosofis di atas landasan logis tersebut. Masalahnya adalah bahwa prinsip yang melandasi aliran keseluruhan pemikiran itu sendiri tidak dapat lulus uji verifikasi. Dengan kata lain, jika Ayer ada di sini pada hari ini dan kita meminta dia untuk menunjukkan suatu observasi—pengamatan apa pun—yang akan dianggap sebagai bukti prinsip verifikasi, ia tidak akan mampu melakukannya! Mengapa? Karena prinsip ini bukan sekadar “alat logika”, seperti yang dikira oleh Ayer; prinsip itu sendiri merupakan keyakinan metafisis yang terlalu sering hendak ia buang karena dianggap tidak masuk akal. Artinya, prinsip itu benar kalau saja prinsip itu sendiri kurang bermakna, atau, kalau tidak, prinsip itu salah kalau saja pondasi inti positivisme logis hancur berkeping-keping. Kita dapat mengungkap karakter prinsip verifikasi yang kontradiktif-diri dalam bentuk yang lebih tegas.
Walaupun positivisme logis memang mengalami masa kejayaan dengan dukungan banyak Filosof, terutama selama 1930-an dan 1940-an, tidak lama kemudian sifat klaim-klaim dasarnya yang kontradiktif-diri menjadi bukti yang tak tersangkal. Bahkan, bukti itu tak tersangkal sama sekali sehingga Ayer sendiri akhirnya berhenti mencoba membela pandangan positivis yang seekstrim tersebut. Pelajaran yang dapat kita petik dari eksperimen filosofis yang masanya relatif singkat itu adalah bahwa beberapa macam praduga bersifat esensial bagi upaya filosofis apa pun, dan bahwa praduga-praduga semacam itu, sebagaimana mitos-mitos yang kita hadapi di Bagian Satu, selalu melampaui alam pengetahuan yang dibatasi oleh praduga-praduga. Prinsip transenden seperti itu biasanya harus diterima berdasarkan keyakinan, karena tidak bisa dibuktikan dari dalam sistem yang disokong oleh prinsip tersebut; namun tanpa hal itu, tidak ada garis batas di sistemnya, dan karenanya tidak ada pengetahuan sama sekali. Dengan kata lain, positivisme logis mungkin telah berhasil, dalam pengertian tertentu, dalam membuat filsafat menjadi ilmu; namun harga yang harus dibayar adalah mengukuhkan ketidakruntutan dasar yang sangat menodai ilmu modern: keyakinan bahwa pengetahuan bisa dicapai tanpa berakar pada suatu mitos yang mendasarinya. Segera sesudah kita akui sia-sianya keyakinan semacam itu, kita dapat melihat bahwa “benda-benda” [yang ada dalam pikiran] Wittgenstein itu sama pentingnya dengan “fakta-fakta” [yang ada dalam pikiran]-nya: tanpa “benda” kita pun tidak dapat membicarakan “fakta”!
Salah satu perbedaan tajam yang paling menarik dalam sejarah filsafat abad keduapuluh adalah antara adikarya Wittgenstein yang pertama dan adikaryanya yang kedua. Tidak lama sesudah ia menyusun kerangka filsafat positivis, ia melangkah menuju jalan pencerapan tugas filosofis secara amat berbeda. Ia mengawali pandangan barunya dalam Philosophical Investigations (1953), sebuah buku yang diterbitkan setelah ia meninggal, yang sampai diperlakukan sebagai manifesto bagi sebuah versi analisis linguistik lainnya, yang disebut “filsafat bahasa sehari-hari”. Berbedanya karakter antara dua bukunya sangat jelas, bahkan juga terlihat dari judulnya: Tractatus bersifat logis ketat dan analitik sepenuhnya, sedangkan Investigations ditulis dengan gaya yang jauh lebih longgar, lebih sintetik—tidak berbeda dengan cerita detektif. Batu pondasi filsafat bahasa sehari-hari (yang mengambil alih posisi prinsip verifikasi positivisme logis) adalah prinsip bahwa makna kata atau proposisi ditentukan oleh penggunaannya. Dengan dilengkapi dengan prinsip ini, para Filosof analitik mengalihkan perhatian mereka pada tugas penyelidikan tentang bagaimana kata-kata digunakan dalam bahasa sehari-hari, dengan keyakinan bahwa semua masalah metafisis pada dasarnya bisa ditelusuri jejaknya pada kekeliruan pemakaian beberapa kata kunci yang digunakan.
Di samping prinsip penggunaan yang menentukan makna, Wittgenstein menyarankan sejumlah pedoman lain tentang bagaimana mestinya bahasa sehari-hari diselidiki oleh Filosof. Dua di antaranya mesti disebut di sini sebelum kita simpulkan bahasan kita tentang analisis linguistik. Yang pertama adalah bahwa kata-kata mendapatkan makna dengan turut serta dalam “permainan-bahasa” tertentu. Tepat seperti permainan yang berlainan memiliki aturan yang berlainan, namun semuanya dapat disebut “permainan”, cara penggunaan bahasa yang berlainan pun mempunyai aturan yang berlainan, namun makna dapat muncul di dalam semua cara tersebut. Ini berarti bahwa ilmu, satu-satunya alam pengetahuan yang bisa diterima oleh positivis logis, lantas dianggap sebagai salah satu dari banyak kemungkinan permainan-bahasa. Kata-kata yang kita pakai dalam konteks non-ilmiah, sebagaimana dalam penalaran moral, dalam penyusunan penilaian estetik, dan bahkan dalam pembangunan sistem keyakinan religius, bagaimanapun, bisa dianggap mempunyai makna yang sah. Walau di setiap kasus itu kita tidak dapat memahami makna-makna sedemikian itu dari luar, kita harus turut serta dalam permainan supaya [dapat] mengerti apa yang terjadi. Karena alasan ini, memahami konsep “permainan” itu penting sekali bagi para Filosof bahasa sehari-hari.
Sebuah pedoman lain yang diperkenalkan oleh Wittgenstein didasarkan lagi-lagi pada analogi—yaitu bahwa kelompok-kelompok kata kadang-kadang mengandung “pertalian keluarga” satu sama lain, baik antarkata maupun antarkelompok. Dengan melacak pertalian-pertalian ini dan menyadari pola-pola ruwet yang terlihat pada bahasa sehari-hari, ia percaya para Filosof bisa terhindar dari pengulangan banyak kekeliruan yang dilakukan oleh Filosof-Filosof masa lampau. Upaya menggunakan suatu kata seolah-olah kata itu anggota keluarga yang tidak terkait dengan bahasa sehari-hari berarti melanggar aturan permainan-bahasa; jadi, tidaklah aneh muncul masalah-masalah yang tampaknya tak terpecahkan sebagai akibatnya. Dengan menggunakan pedoman ini dan pedoman-pedoman lainnya, Wittgenstein mendeteksi sering kelirunya kecenderungan para Filosof dalam memperlakukan kata-kata. Kendati karya deteksi semacam itu kadang-kadang berakhir dengan simpulan yang tidak berbeda dengan pemikiran logis Tractatus (umpamanya, bahwa masalah filosofis itu lantaran kesalahan penggunaan bahasa), nada terbuka dan lenturnya amat berbeda dengan kekakuan karya belianya.
Jika positivisme logis mencoba membuat filsafat menjadi ilmu, filsafat bahasa sehari-hari mencoba membuatnya menjadi seni. Dengan cara ini analisis linguistik dalam bentuk tertentunya pada aktualnya menjadi lebih sepenuhnya menghargai pentingnya sintesis—walau tentu saja masih menempatkan analisis sebagai prioritas. Tekanan pada analisis mempunyai faedah lantaran mengundang perhatian para Filosof akan pentingnya penjernihan bahasa. Akan tetapi, salah satu masalah seluruh gerakan ini yang paling serius adalah bahwa dalam banyak kasus para Filosof analitik yang menyatakan klaim mereka, “kami hanya mencoba membantu menjernihkan hal-hal yang telah anda lakukan tatkala ada menggunakan bahasa”, pada aktualnya juga menyiratkan klaim lain yang amat berbeda. Sebagian dari Filosof-Filosof analitik berfilsafat dengan sikap bahwa pada faktanya, “kami mengetahui kesalahan tradisi seluruhnya, dan kami tidak membutuhkannya lagi!” Hal ini, tentu saja, merupakan perkataan yang berbahaya, karena tradisi filsafat merupakan tanah di bawah permukaan, tempat pengambilan gizi bagi akar-akar metafisis pohon filsafat kita.
4.2. Filsafat Hermeneutik: Wawasan dan Kembali ke Mitos
Dalam mitologi Yunani kuno, tampaknya ada “seorang” tokoh yang tampaknya sering menonjol di tengah-tengah yang lain lantaran jauh lebih simbolis daripada yang lain dalam membantu kita memahami hakikat dan makna logika. Dialah Hermes, putra “haram” dari Zeus dan Maya, putri tertua dari “Pleiades” (tujuh bersaudara, putri Atlas dan Pleione). Maya melahirkan dia sewaktu bersembunyi di gua; namun setelah tumbuh hampir mendekati ukuran anak kecil, ia menyelinap pada suatu malam, mencuri limapuluh lembu Apollo, dan menyembunyikannya di gua lain. Untuk mengecoh para pengejar, ia menutupi jejak kuku kaki lembu-lembu itu [dan membuat jejak lain] dengan sepatu pahatan sehingga jejak-jejak itu terlihat menuju arah yang berlawanan. Di gua itu ia menemukan api, lalu menyembelih dua ekor lembu menjadi duabelas potong, mempersembahkannya kepada dewa-dewa, masing-masing sepotong. Dengan menggunakan kulit kura-kura dan kulit dua lembu tersebut, ia membuat lyre[i][1] pertama. Tatkala akhirnya Apollo menemukan tempat persembunyian itu, ia sangat terpesona oleh suara kecapi Hermes sehingga ia menyerahkan seluruh ternak tersebut sebagai tukaran alat musik itu, dan keduanya menjadi teman baik. Untuk menenangkan diri dengan musik seraya menggembala lembu, Hermes membuat seruling gembala dan mulai mempelajari seni nujum yang terlarang. Akhirnya Zeus menjadi sangat terkesan akan keterampilan nujum Hermes sehingga ia mengangkat dia menjadi utusan dari dewa-dewa abadi—salah satu tugas utamanya adalah memberi mimpi kepada yang fana.
Tidak seperti kebanyakan dewa Yunani, yang dianggap hanya mengatur satu atau dua aspek kehidupan, Hermes dipandang selaku aneka ragam lambang. Lantaran perbuatan awalnya, ia menjadi dewa bagi pencuri dan penipu, dengan kelicikan sebagai salah satu ciri utamanya. Namun ia juga dipuja selaku dewa bagi musisi, penggembala, pedagang, dan pengrajin, di samping dewa bagi pemain cinta dan penyihir (khususnya dipakai untuk memanterai orang yang dicintai). Di antara semua ciri khasnya, ciri penentu perannya yang lebih menonjol daripada dewa-dewa lainnya adalah tugasnya selaku utusan. (Menariknya, kata Yunani untuk “malaikat” juga secara harfiah berarti “utusan Dewa”.) Sebagai salah satu dari beberapa gelintir dewa yang dibolehkan melakukan perjalanan secara bebas antara alam insani dan alam ilahi, Hermes dapat dianggap sebagai dewa tapal batas—gelar yang kelayakannya.
Aliran utama filsafat ketiga pada abad keduapuluh meminjam namanya, dengan alasan yang baik, mengingat sifat mitologis ini. Sebagaimana tugas Hermes ialah mengungkap makna tersembunyi dari dewa-dewa ke manusia-manusia, filsafat hermeneutik pun berusaha memahami persoalan paling dasar dalam kajian umum tentang logika atau filsafat bahasa: bagaimana pemahaman itu sendiri mengambil tempat bilamana kita menafsirkan pesan-pesan ucapan atau tulisan. Oleh sebab itu, kita dapat mengakui bahwa Hermes ialah representasi simbolik Filosof, yang tugas utamanya (begitu kita akui bahwa sebagai manusia kita bebal perihal kenyataan hakiki) adalah menafsirkan makna kata-kata.
Filsafat hermeneutik memiliki akar yang dalam di kebudayaan Barat. Bahkan, Aristoteles sendiri menulis buku berjudul Peri Hermeneias (Tentang Interpretasi), walau ini lebih berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan dasar logika daripada dengan persoalan yang saat ini kita kaitkan dengan hermeneutika. Bagi Agustinus, Aquinas, dan para Skolastik, hermeneutika adalah persoalan yang signifikan terutama (kalau bukan satu-satunya) karena ada hubungannya dengan bagaimana Bibel mestinya ditafsirkan. Karya pertama yang berusaha secara praktis obyektif menata prinsip-prinsip penafsiran semacam itu adalah Introduction to the Correct Interpretation of Reasonable Discourses and Books (1742), karya Johann Chladenius (1710-1759). Dengan menetapkan hermeneutika sebagai seni pemerolehan pemahaman pembicaraan secara lengkap (entah ucapan entah tulisan), ia mengusulkan tiga prinsip dasar yang harus selalu diikuti: (1) pembaca harus menangkap gaya atau “genre” pembicara/penulis; (2) aturan logika yang tak bisa berubah dari Aristotelian harus digunakan untuk menangkap makna setiap kalimat; (3) “perspektif” atau “sudut pandang” pembicara/penulis harus ditanamkan di dalam benak, terutama ketika membandingkan laporan yang berbeda tentang peristiwa atau pandangan yang sama.
Selama abad kedelapanbelas dan terutama abad kesembilanbelas, secara bertahap hermeneutika berkembang menjadi bidang baku telaah akademik, terutama bagi para teolog, lantaran kebermaknaannya dalam membantu penafsiran biblikal. Friedrich Schleiermacher (1768-1834) mengajar hermeneutika sebagai matakuliah khusus, dengan memperkenalkan banyak wawasan dan ciri baru yang dewasa ini masih dinilai penting. Salah satu teorinya yang paling terkenal adalah bahwa kemampuan kita untuk memahami teks dibatasi oleh “lingkaran hermeneutika”. Ini mengacu pada pertalian timbal-balik yang terdapat antara bagian-bagian teks (umpamanya, makna setiap kata, frase, dan sebagainya, yang dipertimbangkan dalam sorotan bahasa asal dan tatabahasanya) dan teks keseluruhan yang dipertimbangkan sebagai satu keutuhan yang maknawi (yang acapkali membutuhkan umpamanya pemahaman latarbelakang kultural dan psikologis penulis). Paradoksnya adalah bahwa kita harus memahami bagian-bagian dengan maksud menangkap keutuhannya. Dalam prakteknya, ini berarti bahwa tugas penafsir tak pernah selesai: semakin paham kita terhadap bagian-bagiannya, semakin akurat pandangan kita terhadap keutuhannya, dan sebaliknya. “Lingkaran” tanpa akhir ini bahkan lebih tepat untuk dianggap sebagai spiral, dengan pemahaman kita terhadap teks itu yang tumbuh semakin lebar, dengan revolusi bagian-keutuhan masing-masing. Ini mengisyaratkan sebuah cara pemahaman bagaimana hermeneutika menggabungkan sintesis dan analisis: sintesis adalah proses penggabungan bagian-bagiannya menjadi satu keutuhan; analisis ialah proses timbal-balik pembagian satu keutuhan menjadi bagian-bagiannya.
Ada banyak cendekiawan dengan berbagai tingkat minat terhadap filsafat, seperti William Dilthey (1833-1911), yang turut memberi wawasan lebih lanjut untuk pemahaman kita tentang hermeneutika; tetapi fokus utama pekan ini adalah pada abad keduapuluh. Fokus semacam ini pada aktualnya cukup tepat, karena hanya melalui karya salah seorang Filosof paling istimewa abad itu filsafat hermeneutik sungguh-sungguh menjadi cara berfilsafat (sebagai lawan terhadap seperangkat prinsip penafsiran biblikal). Oleh sebab itu, mari kita bahas ide-idenya dengan lebih rinci, dengan suatu pandangan yang menuju pemerolehan pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana filsafat hermeneutik merupakan sintesis filsafat analitik dan eksistensialisme, yang karenanya mewakili sesuatu yang paling dekat dengan filsafat yang “baik” di abad keduapuluh.
Dialah Hans Georg Gadamer (1900- ) yang perkembangannya dipengaruhi oleh filsafat Edmund Husserl (1859-1938) dan Martin Heidegger (1889-1976). Husserl menyusun metode filosofis yang bernama “fenomenologi”, yang mencakup proses yang disebut “periode transendental” (transcendental epoche), yang dengannya Filosof berupaya mereduksi fenomena ke sifat khasnya yang paling esensial dengan menempatkan segala yang non-esensial “di luar interval”. Dengan berfokus pada percakapan, Husserl mencoba menjelaskan bagaimana kata-kata menunjukkan realitas obyektif yang melampaui kata-kata itu sendiri. Heidegger, seorang murid Husserl, menggunakan ide-ide gurunya sebagai papan loncat bagi suatu filsafat baru yang menghargai hermeneutika sebagai tugas filosofis inti. Dalam bukunya yang amat berpengaruh, Being and Time (1927), Heidegger mengemukakan bahwa “Dasein” (sebuah istilah yang bermakna “yang-berada-di-sana”, tetapi dipakai sebagai nama untuk inti hakikat manusia yang esensial) mempunyai “prioritas ontologis” di atas semua yang-berada lainnya, karena seluruh manusia memiliki “keterbukaan” dengan sendirinya (in-built) menuju (atau “pra-pemahaman” tentang) Yang-Berada. Heidegger menunjukkan, masalahnya adalah bahwa melalui proses “penutupan”, kita “melupakan” hubungan initim kita dengan Yang-Berada. Adapun selama Yang-Berada tetap bersembunyi dari pemandangan kita, kita “terasing” dari akar-akar terdalam kita. Penutupan semacam ini terjadi karena kebanyakan ujaran kita (yakni penggunaan kata) timbul dari hubungan yang “tidak otentik” dengan Yang-Berada. Jadi, tugas Filosof adalah mengatasi masalah ini melalui proses “realisasi-diri” dengan syarat bahwa kita, mula-mula dan terutama, mengakui betapa kita dibatasi oleh sifat temporal kita. Kitangnya, Heidegger tak pernah menulis volume kedua [lanjutan dari] buku ini, yang di dalamnya ia menyatakan akan menafsirkan Yang-Berada secara demikian.
Gadamer, murid Heidegger, ialah seorang pendatang lambat. Seperti Kant, ia hampir berusia senja tatkala ia menulis adikaryanya, Truth and Method (1960). Buku ini, yang kadang-kadang dijuluki “Kitab Suci” filsafat hermeneutik Jerman, memperkirakan perbedaan tajam historis antara periode filsafat Pencerahan dan Romantik. Filsafat Pencerahan berpegang pada pandangan yang naif bahwa akal dapat memecahkan semua masalah manusia, asalkan kita mau membuang semua praduga dan memandang alam dari sudut pandang kebenaran universal yang obyektif. Filsafat Romantik menolak “prasangka terhadap parasangka” ini (TM 240), menggantinya dengan prasangka demi tradisi dan, bersama dengan ini, suatu penghormatan baru terhadap mitos. Jadi, para Romantik memandang alam dari sudut pandang kebenaran individual yang subyektif. Gadamer mengemukakan bahwa dengan sekadar mengatakan “tidak” terhadap sudut pandang lawan, gerakan ini melakukan kesalahan dasar yang sama dengan kesalahan Pencerahan: para Filosof di kedua tradisi tersebut cenderung tetap tak sadar akan prasangka mereka. Filsafat hermeneutik melampaui kedua gerakan itu dengan mengklaim bahwa memiliki suatu prasangka tidak terelakkan. Gadamer menyatakan, prasangka adalah buruk hanya bila merupakan hasil dari melihat bukti secara terlalu tergesa-gesa. Prasangka yang didasarkan pada rasa percaya kepada otoritas yang sah bukan hanya tidak buruk, melainkan juga merupakan langkah-niscaya dalam pemerolehan segala pengetahuan murni. Kuncinya adalah mengakui bahwa “otoritas” itu muncul bukan dari posisi orang, melainkan dari pengetahuan orang. Seseorang mematuhi orang lain dengan sukarela bukan melalui paksaan politis, melainkan melalui pengakuan bebas bahwa orang lain tersebut mengetahui apa yang ia bicarakan. Gadamer setuju bahwa tradisi merupakan sumber otoritas semacam itu yang seringkali paling andal; namun bila ini mengemukakan pengetahuan murni, kita harus dapat menyokongnya dengan akal juga. Seperti Kant pula, ia mengingatkan bahwa akal (yakni logika) belaka tidak selalu dapat dipercaya untuk mengarahkan kita menuju kebenaran.
Paradoks periode Romantik adalah bahwa, walau ini membangkitkan kesadaran historis manusia, periode ini lalai untuk mengakui bahwa keterbatasan kita, sebagai yang-berada dalam waktu, membatasi kemampuan kita untuk memahami sejarah kita sendiri dengan akurat. Pada jantung “masalah hermeneutik” (TM 245): “sejarah bukan milik kita, tetapi kita dimiliki olehnya.” Lantaran penafsir adalah dalam sejarah, proses penafsiran makna teks apa saja adalah tugas yang tanpa akhir. Pemahaman mensyaratkan kita untuk mula-mula mengatasi “rasa asing” terhadap teks atau obyek yang dipikirkan, dan kita melakukan hal ini dengan mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih dikenal, sesuatu yang telah kita pahami. Inilah alasan mengapa prasangka merupakan bagian yang tak terelakkan dari proses pemahaman, dan mengapa menyadari prasangka kita sangat penting untuk penafsiran teks—atau sebetulnya segala segi pengalaman kita. Kesadaran bahwa penafsir berada di dalam rangkaian kesatuan historis yang sama tatkala menafsirkan apa saja adalah prinsip yang oleh Gadamer disebut “prinsip sejarah-efektif” (267).
Salah satu argumen pokok Gadamer dalam Truth and Method adalah bahwa “keyakinan naif akan metode ilmiah” (268) “menyebabkan penyangkalan seseorang akan kesejarahannya sendiri.” Pada aktualnya, upaya apa pun untuk mendapatkan kebenaran harus didasarkan pada suatu metode; dan metode apa saja yang kita pilih itu secara paradoksis pasti membatasi pandangan kita tentang apa yang benar. Ini karena, seperti yang kita tekankan pada berbagai gagasan di sepanjang matakuliah ini, kita bisa mengakui kebenaran sesuatu hanya bila kita memandangnya dari suatu perspektif. (Kita akan mengulas tema ini dengan lebih rinci di Kuliah 24.) Akan tetapi, metode ilmiah itu berbahaya khususnya dalam hal ini, para penganjur lantangnya cenderung memperlakukannya sebagai satu dan satu-satunya metode pencapaian kebenaran; namun dengan tetap bebal akan prasangka (atau “mitos”, seperti yang kita sebut di Bagian Satu) mereka sendiri, klaim-klaim semacam itu akhirnya bersembunyi sebanyak kebenaran yang mereka ungkap—kalau tidak lebih banyak. Sebaliknya, apresiasi filosofis terhadap prinsip sejarah-efektif memberi kita “kesadaran akan situasi hermeneutiknya” (268).
“Situasi”, menurut Gadamer (TM 269), adalah “sudut pandang yang membatasi kemungkinan pandangan.” Batas-batas situasi kita dinamai “horison”—istilah yang dipinjam oleh Gadamer dari Heidegger—kita. Yang penting dari penyadaran akan cakrawala pribadi kita sendiri ini adalah bahwa ini memberi kita rasa mawas (perspective) mengenai segala yang dapat kita lihat dari sudut pandang tertentu kita. Tanpa kesadaran semacam ini, orang cenderung peduli hanya terhadap kejadian yang terdekat dengan waktu sekarang. Filsafat hermeneutik memecahkan masalah ini dengan menyediakan rasa kesadaran historis—“horison masa lalu” (271)—yang memungkinkan kita untuk memperluas cakrawala kita sehingga ini memasukkan situasi orang lain (orang yang kata-katanya kita tafsirkan). Peleburan cakrawala-cakrawala ini terjadi bilamana kita tafsirkan kata-kata orang lain.
Dalam pengertian apakah kita dapat mengatakan bahwa filsafat hermeneutik, seperti yang tersaji oleh Gadamer dalam bentuknya yang paling lengkap dan sistematis, pada aktualnya mensintesis gerakan yang lebih awal, yakni analisis linguistik dan eksistensialisme? Salah satu dari banyak cara pembelaan klaim semacam ini akan mempertimbangkan bagaimana masing-masing cenderung memandang tugas berfilsafat. Para Filosof linguistik memandang sendiri bahwa mereka (idealnya) ialah analis ilmiah terhadap bentuk-bentuk bahasa yang obyektif, sedangkan para eksistensialis memandang sendiri bahwa mereka peramal yang menyeru manusia menuju penghargaan baru terhadap makna (atau kesia-siaan) pengalaman insani. Dengan menganggap bahwa filsafat pada dasarnya adalah percakapan untuk ditafsirkan, Gadamer menggabungkan bias analitik Wittgenstein dan bias sintetik Heidegger (seperti yang ditafsirkan oleh Filosof yang mengaku eksistensialis): filsafat adalah dan harus merupakan upaya, baik untuk menganalisis dan memahami bentuk-bentuk linguistik ekspresi maupun untuk mensintesis dan mengalami dorongan dan tarikan maknawi dari bentuk-bentuk tersebut ketika berkembang dalam komunitas-komunitas yang ditengahi-secara-historis.
Salah satu cara penekanan pentingnya penyediaan ruang bagi prasangka kita adalah pembedaan antara “eksegesis” (membaca makna keluar dari teks) dan “eisegesis” (membaca makna anda sendiri ke dalam teks). Dewasa ini kebanyakan cendekiawan masih menganggap bahwa eksegesis merupakan satu-satunya pendekatan yang sahih terhadap penafsiran. Namun filsafat Gadamer memperlihatkan bahwa membongkar makna teks secara analitis (eksegesis) dan menambahkan wawasan kita sendiri terhadap kemungkinan makna teks secara sintetis (eisegesis) keduanya merupakan aspek penting proses hermeneutik. Salah seorang contoh cendekiawan yang tidak menanggung bias terhadap eisegesis ialah Kant, yang mengemukakan bahwa semua penafsiran biblikal yang berlangsung dalam konteks agama mestinya diberi interpretasi moral, meskipun itu bukan bagian dari makna harfiah teks—asalkan tidak bertentangan dengan makna tersebut. Pada Pekan XI kita akan berbicara lebih banyak tentang pandangan Kant tentang agama. Yang penting di sini adalah bahwa tanpa suatu ukuran eisegesis, pemahaman kita akan jauh dari wawasan dan juga jauh dari makna yang mendalam. Karena itu, sebelum menyimpulkan kuliah ini, mari kita merambah alam wawasan dengan lebih rinci sehubungan dengan pembedaan antara logika analitik dan sintetik.
Lantaran kita menyimpulkan tahap kedua dalam eksplorasi pohon filsafat kita, kita ingin memastikan bahwa batangnya, yakni logika, telah memberi anda beberapa wawasan baru mengenai bagaimana kita memahami kata-kata. Pada khususnya, kita harap anda sekarang memperhatikan betapa penting mengakui pertalian yang komplementer antara analisis dan sintesis dalam segala bentuknya. Pembedaan pandangan-wawasan (sight-insight): logika analitik sering menyediakan cara terbaik untuk memaparkan permukaan hal-hal yang kita lihat dan kita alami, sedangkan logika sintetik membawa kita menerobos permukaan, memasuki pendalaman ide-ide baru. Namun ide-ide baru tidak bisa berdiri sendiri. Jika kita memiliki wawasan dan kemudian membiarkannya begitu saja, ini tidak akan menghasilkan buah. Oleh sebab itu, penemuan sintetik wawasan baru harus selalu diikuti dengan kritisisme analitik; dan kritisisme ini hanya dapat dilakukan dengan tepat oleh orang yang terbenam sepenuhnya dalam tradisi itu.
LANGUAGE (Kebahasaan)
Manusia sebagai mahluk sosial, dalam kehidupannya sudah dapat dipastikan akan berhubungan dengan orang lain atau bermasyarakat yang memiliki kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial adalah kebutuhan untuk menumbuhkan dan mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan orang lain dalam berinteraksi. Kita ingin bergabung dan berhubungan dengan orang lain, kita ingin mengendalikan dan dikendalikan, dan kita ingin mencintai dan dicintai yang dapat dipenuhi dengan adanya komunikasi.
Manusia dapat berkomunikasi dengan baik melalui penguasaan dan penggunaan bahasa. Bahasa merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, karena manusia akan selalu membutuhkan orang lain dan tidak bisa hidup sendiri. Bahasa merupakan medium bagi manusia dalam melakukan hubungan dengan orang lain. Bahasa dapat dijadikan alat untuk menyampaikan, mengekspresikan atau menjelaskan sesuatu yang dapat dimengerti atau dipahami oleh orang lain.
Telah jelas diketahui bahwa prinsip dasar dalam bahasa adalah sebagai produk dari budaya yang secara ilmiah terus berkembang. Bahasa merupakan harta yang tak temilal dalam budaya manusia yang terpelihara dan diturunkan secara turun temurun dari generasi ke generasi melalui pendidikan. Seseorang dapat berbicara dalam bahasa tertentu karena ia tinggal dan menjadi bagian dari suatu komunitas masyarakat dimana la tinggal dan dibesarkan.
Berdasarkan fenomena tersebut, maka penguasaan bahasa perlu dikembangkan karena merupakan alat untuk berkomunikasi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dengan demikian perlu adanya pembahasan yang runtut dan jelas, sehingga bahasa akan menjadi pencapaian budaya dan menjadikannya subyek terhadap bermacam variasi dan hal‑hal menarik lainnya yang menjadi karakteristik produk dalam proses kreasi umat manusia.
Penggunaan bahasa merupakan salah satu kemampuan dalam pendidikan yang harus dikuasai. Permasalahan studi tentang bahasa dan bagaimana pengetahuan dalam bidang ini dibandingkan dengan bidang lainya merupakan pokok bahasan yang akan kita bahas dalam makalah berikut ini.
5.1. Bahasa sebagai produk kebudayaan.
Pengetahuan tentang faktor‑faktor alamiah yang membentuk bahasa sebagai suatu ilmu akan sangat membantu dalam pembahasan kali ini. Dalam ilmu peagetahuan alam obyek dasar bagi pengetahuan adalah dunia materi yang meliputi bintang, atom, tanaman dan kromosom. Dalam ilmu tentang manusia., sifat‑sifat yang dipelajari adalah tentang manusia sebagai individu dan manusia sebagai bagian dari suatu kelompok. Termasuk dalam ilmu pengetahuan tentang manusia antara lain, pengetahuan itu sendiri, sejarah, bahasa, seni dan agama.
Telah dengan jelas diketahui bahwa. prinsip‑prinsip dasar dalam bahasa adalah sebagai produk dari budaya yang secara ilmiah berkembang. Bahasa merupakan harta yang tak temilai dalam budaya manusia yang terpelihara dan diturunkan secara turuntemurun dari generasi ke generasi melalui pendidikan. Bahasa tidak diwariskan melalui serangkaian proses seperti halnya sifat‑sifat dasar alamiah dan tidak pula ditularkan melalui penyakit tertentu. Seseorang dapat berbicara dalam bahasa tertentu karena ia tinggal dan diam menjadi bagian dari suatu komunitas masyarakat dimana ia tinggal dan dibesarkan. Banyak generasi yang lahir dalam suatu tradisi berbahasa tertentu yang tidak memiliki pengaruh dari asal. garis keturunan darimana ia berasal. Seorang bayi Cina yang lahir dari garis keturunan nenek moyang sejak beribu tahun yang lalu, jika. ia dididik dan dibesarkan dalam lingkungan yang berbahasa. Inggris, akan merdapatkan pengetahuan dan fasilitas, berbahasa Inggris seperti halnya orang lain yang lahir dalam garis keturunan lingkungan berbahasa Inggris dan mungkin suatu saat nanti akan menemukan kesulitan untuk mempelajari bahasa nenek moyangnya. sendiri, yaitu bahasa Cina.
Bahasa kemudian akan menjadi pencapaian budaya, daripada sekedar pertumbuhan biologis alamiah seseorang dan menjadikannya subyek terhadap bermacam variasi dan hal‑hal menarik lainnya yang menjadi karakteristik produk dalam proses kreasi umat manusia.
5.2. Lambang‑lambang Bahasa.
Yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah sifat‑sifat dasar yang dimiliki bahasa yang diproduksi dan ditransfer melalui budaya? Pada mulanya jawabannya adalah kata, lalu apakah sebuah kata itu? Kata adalah suara yang dihasilkan dan diartikulasikan oleh lidah dan perangkat bicara lainnya. Atau. tanda‑tanda yang dipresentasikan dalam suatu latarbelakang seperti tulisan pada kertas ini.
Namun tak semua artikulasi kata maupun tulisan mewakili bahasa secara benar dan tidak pula mengungkapkan intisari dari bahasa itu sendiri.
Tanda, suara dan benda‑benda lainnya menjadi bahasa bilamana ia mempunyai karakter simbolis. Artinya bilamana semua itu mewakili atau menerangkan hal lainnya yang mereka representasikan. "Tinta" misalnya memiliki arti sebuah botol yang berisi cairan untuk menulis atau "Tanto" yang mewakili sebuah nama orang, namun hal ini tidak menjelaskan semua tepat hakekat bahasa itu sendiri, karena entitas bahasa itu sendiri tidak melulu merupakan serangkaian kata benda, namun ada juga kata kerja, kata sambung, preposisi dan kata sifat yang tidak memiliki bentuk fisik namun memiliki peran penting dalam sistem bahasa itu sendiri.
Hal ini yang kemudian menimbulkan kemungkinan jawaban kedua terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang sifat bahasa. Kemimgkinan jawaban kedua tidak lagi menunjukkan pada benda saja, namun inti bahasa terletak pada ide atau makna. Ideasi ini merupakan pengetahuan intelektual atai realitas rasional ia adalah sifat mental dalam suatu karakter. la mewakili fungsi dasar seorang manusia yang dinamakan intelegensi atau alasan.
5.3. Bahasa dan Makna
Sifat dasar bahasa sebagai suatu makna dalam sebuah sistem lambang dapat diperjelas dengan pemahaman terhadap empat komponen pembentukan bahasa:
1. bahwa adanya dunia dengan entitas nyata seperti pohon, bintang, dan orang.
2. adanya manusia yang memiliki kemampuan untuk menghubungkan dirinya dengan entitas nyata tadi.
3. adanya lambang dalam arti suara dan tanda ,yang menjadi kulit bahasa itu sendiri.
4. adanya sekumpulan ide yang memberikan makna terhadap lambang bahasa.
5.3.1. Persistensi dalam asosiasi
Rahasia utama dari sebuah bahasa adalah adanya persistensi dalam asosiasi. Pada saat secara intelektual terhadap entitas tertentu (misalnya buku) seseorang akan menghubungkannya dengan dengan lambang tertentu (kata "buku") yang menunjukkan kelas obyek tertentu. Kejadian yang simultan dalam dua hubungan diatas terjadi saat sebuah buku ditunjukkan dan pikiran kita menyusun kata "buku" dan persepsi pikiran kita terhadap kata buku merujuk pada obyek buku itu sendiri.
5.3.2. Pluralitas dalam lambang.
Poin utama sekarang bukanlah cara pengucapan yang membingungkan, namun lebih kepada keutamaan makna yang membedakan simbol‑simbil bahasa tertentu. Orang‑orang diseluruh dunia memiliki konsep yang sama tentang "langit", namun simbol‑simbol tesebut dapat berbeda, seperti dalam bahasa Perancis ciel‑ dalam bahasa Jerman himmel, misalnya sangat berbeda satu dengan yang lainnya
Walaupun untuk keperluan mengingat dan kejelasan pada hubungan symbolide ini, untuk itu prinsip‑prinsip dalam membuat keputusan tidak serta merta dapat dikesampingkan. Lambang‑lambang dapat merujuk pada suatu ide, namun halnya tidak selalu demikian.
5.3.3. Pendidikan dan keutamaan dari makna.
Keutamaan makna dalam bahasa memiliki konsekuensi terhadap pengajaran bahasa yang tidak hanya mengajarkan kata‑kata saja, melainkan juga lambang-lambang yang memiliki maknapun harus dipelajari. Untuk mengenal kata‑kata dan berbicara atau menulis tidaklah diperlukan bahasa. Segala sesuatu hal tergantung pada makna. Seorang guru bahasa hanya akan berhasil jika siswanya mengerti akan makna, ide, konsep yang akan digunakannya untak berekpresi.
5.3.4. Indera ‑ Ruang dan Waktu
Bahasa berdasarkan pada penggunaan materi yang akan mewakili sebuah ide atau makna. Yang paling penting perasaan berbahasa adalah melalui penglihatan dan pendengaran, yang berhubungan dengan bahasa tulisan dan bahasa verbal.
Perbedaan yang terpenting dalam tipe‑tipe lambang adalah antara perwakilan mode spasial dan temporal. Sebuah ideograph yang melambangkan sebuah rumah dapat ditunjukkan dengan simbol, yang merujuk pada tipe spasial dimana ide yang ditunjukkan menunjukan bentuk spasial. Lain halnya dengan mode verbal yang merupakan simbol temporal karena bentuk yang ditunjukkan adalah serangkaian bunyi pada suatu waktu. Tulisan memiliki kedua dimensi spasial dan temporal. Unit-unit simbol individual (seperti surat atau ideogram) adalah spasial dan ini kemudian disusun dalam urutan spasial dengan menggunakan aturan suksesi (misaInya dengan membaca secara horizontal dari kiri ke kanan) yang merujuk pada rentang temporal.
Hubungan antara lambang penglihatan dan lambang suara tidaklah selalu terjadi secara ekonomis. Persepsi visual secara umum lebih efisien daripada persepsi auditorial hanya karena yang satu terjadi secara spontan sedangkan yang lainnya melalui rentag waktu tertentu. Seseorang bisa mendapat makna bentuk visual dalam penglihatan sekilas sedangkan bentuk yang sama bila diucapkan akan memerlukan waktu yang cukup agar rangkaian bunyi tersebut menjadi lengkap.
5.4. Aturan kombinasi
Untuk tujuan menyederhanakan lambang dan menunjukkan hubungan, maka pendekatan kedua dalam pemberian lambang harus dilakukan. Daripada menciptakan simbol sederhana yang berbeda untuk setiap ide, maka sekumpulan lambang dasar digunakan dan elemen‑elemea ini dikombinasikan dalam berbagai cara tergantung pada aturan‑aturan definit untuk membentuk gabungan lambang yang mewakili suatu ide. Contoh yang digunakan dalam hal ini adalah susunan abjad, dimana kata‑kata dibentuka dengan menggunakan berbagai macam huruf yang dikombinasikan. Contoh lainnya adalah serangkaian bunyi dasar yang digabungkan untuk membentuk kata. Metode kombinasi ini mempermudah produksi dari bermacam‑macam lambang.
Dari fakta bahwa bahasa merupakan komposit, maka ada tiga konsekuensi yang terjadi berikut ini.
5.4.1. Pengetahuan formal
Pertama, pengetahuan yang diexpresikan melalui bahasa seringkali secara alamiah adalah formal, mengkomunikasikan informasi tentang aturan‑aturan dalam menggabungkan kata‑kata.
Untuk memahami bahasa secara benar adalah penting untuk mewaspadai keformalan sebuah kalimat.
5.4.2. Bermacam makna
Biasanya bahasa mengekspresikan sesuatu yang lebih dari pada sekadar menggunakan kata‑kata. Dalam hal inj susunan elemen‑elemen bahasa (misaInya huruf dan kata) adalah faktor yang menentukan. Oleh karena itu, keberagaman dan cakupan dari apa yang dapat dikatakan akan tergantung dari ketepatan aturan dalam membuat suatu gabungan.
Salah satu tugas dari pendidikan bahasa. adalah mengasah keahlian dalam menganalisis struktur formal sebuah kalimat untuk mengekspresikan dan menerjemahkan arti secara jelas dan tepat sebaik mungkin.
5.4.3. Keterbatasan bahasa
Akhimya, komposit alamiah struktur suatu bahasa akan menghadapi batasan dalam cara mengekpresikannya. Gabungan lambang yang dihasilkan dengan menggabungkan huruf‑huruf tertentu ataupun suara menurut aturan‑aturan yang telah ditentukan merupakan sekumpulan khusus dari lambang, yang memiliki bentuk yang terbatas dari segala kemungkinan yang mungkin ditimbulkanuya.
5.5. Bahasa dan Sifat Alamiah Manusia
Kemampuan berbahasa merupakan ciri khusus pada manusia. Binatang‑binatang lainnya menggunakan beberapa variasi melihat dan membunyikan suara namun mereka tidak dapat memprosesnya kecuali hanya melalui penginderaan yang tajam, fasilitas yang hanya dimiliki manusia dalam berbahasa.
Bahasa tergantung pada kekuatan alasan atau akal. Dari data yang ada, persepsi merupakan suatu aspek yang abstrak dari konsepsi‑konsepsi, atau arti dari lambang‑lambang kata yang ada. Bahasa merupakan suatu bukti kegiatan intelektual manusia. Manusia tidak akan mencapai puncak kedewasaannya sebagai mahluk yang rasional yang dapat dipisahkan dari keahliannya berbahasa. Untuk alasan inilah Maka penguasaan terhadap bahasa menjadi sangat penting dalam suatu sistem pendidikan.
5.6. Bahasa dan Lingkungan Sosial
Bahasa sebagai akibat dari adanya sosialisasi tidak dapat dihindari. Manusia merupakan mahluk sosial yang bermasyarakat, dia bukanlah hanya hidup secara individual. Manusia tidak secara kebetulan menjadi sosial, dia secara alamiah menjadi anggota suatu masyarakat.
5.6.1. Komunikasi
Sifat sosial suatu bahasa secara alamiah adalah menjadi media komunikasi. Komunikasi diartikan membuat suatu komunitas, atau secara umum adalah sebuah pengalaman yang menyenangkan.
Komunikasi linguistik merupakan hasil dari kesepakatan yang dapat diterima oleh suatu masyarakat secara luas. Bahasa merupakan istrumen yang fundamental dalam suatu masyarakat.
5.6.2. Bahasa dan kebudayaan
Kebudayaan memiliki banyak faktor dan salah satunya termasuk bahasa. Segala sesuatu yang terdapat yang ada di alam merupakan suatu bentuk dari kebudayaan. Bahasa merupakan suatu sumber pengetahuan dalam kebudayaan. Pentingnya sains, merupakan suatu pemikiran modem Bayangan yang penting mengenai segala sesuatu hal tentang kebudayaan tercermin pada adanya pemahaman terhadap bahasa itu sendiri.
5.7. Studi tentang Bahasa Asing
Beberapa pakar bahasa dapat menterjemahkan yang pada gilirannya orang awam dapat membaca segala sesuatunya dalam bahasa ibunya.
5.7.1. Bahasa asing untuk bepergian
Ada beberapa kelemahan untuk memahami suatu bahasa dan adanya kebiasaan untuk mengucapkan sebuah kata dengan sempuma. Orang yang berbahasa Inggris biasanya dapat menemukan seseorang yang mengerti bahasa Inggris daripada ia menggunakan bahasa asli ditempat (negara) yang ia siggahi.
5.7.2. Memahami asal
Alasan lainnya untuk mempelajari bahasa lain adalah adanya sudut pandang yang berbeda yang akan didapat dari asal bahasa seseorang. Mempelajari bahasa asing akan membuat seseorang menjadi sadar dan kritis terhadap bahasa pada umumnya.
1. Kesadaran terhadap struktur bahasa
Kasus yang ada dalam memahami suatu bahasa adalah memahami struktur alamiah dari semua bahasa, termasuk pada penggunaan bahasa sehari‑hari. Banyak macam/variasi yang dapat diartikan sebagai suatu pemahaman/kombinasi suatu ketentuan yang ada aturannya menjadikan suatu. bukti adanya beberapa, pertanyaan tentang bahasa baru bagi orang yang tidak biasa menggunakannya.
2. Pemahaman terhadap budaya lain
Dengan melalui bahasa, seeorang dapat berparisipasi dalam pemahaman kehidupan sebagai sebuah kebudayaan. Salah satu alasan untuk mengerti bahasa asing adalah untuk dapat mengerti secara benar dan kebudayaan yang dapat direpresentasikan.
Argumen yang ada menunjukkan bahwasannya bahasa memiliki suatu efek dimana bahasa yang satu tidak dapat diterjemahkan pada bahasa lainnya. Untuk memahami kebudayaan lain maka harus memahami bahasanya pula. Dan dalam mempelajari bahasa asing maka dapat memperluas pandangan seseorang, memperdalam apresiasi, dan menciptakan suatu perspektif baru melalui pintu yang terbuka untuk kebudayaan lainnya.
5.8. Bahasa dan Realitas
Pertanyaan yang paling fundamental adalah dasar filosofi dari bahasa itu sendiri yang menyatakan status metafisik dari suatu bahasa. Ini merupakan masalah yang klasik, yang membedakan jawaban dimana sekolah mengajarkan realisme dan nominalisme. Golongan realis percaya bahwa bahasa mengungkapkan struktur sebuah realita. Nominalis percaya bahwa kata‑kata adalah hanya merupakan instrumen konvensional yang diciptakan untuk keperluan berkomunikasi.
Perbedaan sudut pandang filosofis tentang bahasa antara realis dan nominalis menjadikannya faktor penentu dalam pemikiran pendidikan dan pada tataran prakteknya.
Alfred Jules Ayer, Language, Truth and Logic 2nd Edition, Bab Satu, “The Elimination of Metaphysics” (LTL 33-45).
Allman,S.Audean, et al. Curriculum Development. American Press : Boston.
Bertrand Russel, The Problems of Philosophy (New York: Oxford University Press, 1997[1912]}, Bab 15, “The Value of Philosophy”, pp. 153-161.[ii][3]
Hans Georg Gadamer, Truth and Method 2nd Edition, Bagian Kedua, §§ II.1, “The Elevation of the Historicality of Understanding to the Status of Hermeneutical Principle” (TM 253-274).
Kohnstamna and Pallad, 1984, Soul, New York : Alain and Bacon Press.
Kuhn-Thomas.S., 1962, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago : Chicago University Press.
Killen, Roy. 1989. Effective Teaching Strategies. Social Science Press : Australia.
Kindsvatter, Richard, et al. 1996. Dynamic of Effective Teaching. Longman Publishers USA : Newyork.
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus 2nd Edition, terj. D.F. Pears dan B.F. McGuinnes (London: Routledge & Kegan Paul, 1974[1961]), §§ 1, 6.1-3, dan 7.[iii][2]
Pei, Mario. 1949. The Story of Language. New York : The New American Library.
Said-H. Muh., Junimar Affan, 1990, Psikologi dari Zaman ke Zaman (berfokuskan psikologi pedagogis), Bandung : CV.Jemmars
Sumadi Suryabrata. 1993 . Psikologi Pendidikan. P.T. Grapindo Persada : Jakarta.
Syamsuddin, Abin. 2002. Psikologi Kependidikan. P.T. Remadja Rosda Karya : Bandung.
Tyler, Ralph W. 1971. Basic Principles of Curriculum and Instruction. The University of Chicago Press : USA.
Zais, Robert S. 1976. Curriculum ; Principles and Foundation. Haper and Row Publishers Inc. : New York.
Zainuddin-Muhammad, 2003, Filsafat Ilmu (perspektif pemikiran Islam), Malang Banyu media Publishing.
Comprehension
Pertanyaan Perambah: BAB I
1. Coba anda kaji lebih mendalam tentang Agama, Filsafat Ilmu, dan Ilmu Pendidikan dan apa hubungannya dengan Filsafat itu sendiri?
2. Cari benang merah antara tiga komponen dasar pengetahuan (ontologi, epistemologi, dan aksiologi) terhadap Filsafat Ilmu!
Pertanyaan Perambah: BAB II
1. A. Bagaimana penerapan teori Induktif (Bacon) terhadap disiplin ilmu anda (bahasa Inggris) dan berikan contohnya? dan
B. Bagaimana pula penerapan teori Induktif-Deduktif modern (Darwin) terhadap disiplin ilmu anda (bahasa Inggris) dan berikan contohnya?
2. Jabarkan persamaan metode penelitian (Method of Research) dengan metode gabungan antara rasionalisme dan empirisme!
Pertanyaan Perambah: BAB III
1. Bahasa terbentuk berdasarkan “persetujuan” atau “perjanjian”. Coba anda kaji lebih mendalam pernyataan tersebut diatas dan berikan beberapa contohnya?
2. Buat minimal 10 contoh kalimat dalam “Cant” yang dipergunakan dalam disiplin ilmu anda (bahasa Inggris)?
3. Buat minimal 10 contoh kata dalam “Jargon” yang dipergunakan dalam disiplin ilmu anda (bahasa Inggris)?
Pertanyaan Perambah: BAB IV
1. A. Mengapa kebenaran matematis dan alamiah sering cocok?
B. Apakah makna kata atau proposisi berbeda dengan penggunaannya?
2. A. Apa fungsi sintesis, kalau ada, dalam analisis linguistik?
B. Mungkinkah ada bahasa yang analitik seluruhnya?
3. A. Mengapa ada sesuatu, bukan yang-tiada sama sekali?
B. Adakah jalan tengah antara cara negasi dan afirmasi?
Pertanyaan Perambah: BAB V
1. A. Mengapa bahasa disebut-sebut sebagai produk kebudayaan kebudayaan?
B. Bagaimana pula kebudayaan dapat membentuk bahasa suatu komunitas masyarakat?
2. Apa yang dimaksud dengan persistensi dalam asosiasi yang melekat pada suatu bahasa?
4. Bagaimana metode yang tepat menurut anda untuk mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia?
Terima kasih sekali..
ReplyDeleteSangat membantu buat tugas filsafat sy..
Alhamdulillah..nemu blog ini :)
ReplyDelete